Catatan Akhir dari Perayaan COP 21 Paris

COP 21 baru saja berakhir, perdebatan panjang,suasana yang serius, mimik muka yang kecewa, kesan marah dan suasana tegang pun tak terlihat lagi, apa yang bisa diperoleh dari perhelatan besar 195 Negara yang “berkunjung” ke Paris ini?. Kesepakatan yang mengikat secara hukum yang mengharuskan seluruh pasrtisipasi semua negara untuk menjaga pemanasan global dibawah ambang 2 derajat menjadi pertentangan serius diantara para organisasi masyarakat sipil dunia, sementara menurut beberapa negara yang sempat saya ikuti pertemuannya, Hal itu tidak mudah dicapai karena setelah bumi mengalami peningkatan suhu 0,85 derajat celsius sejak 1880, menurut Pertemuan Antar-negara tentang Perubahan Iklim tahun 2014, Oleh karena itu, perlu pengurangan emisi yang signifikan, terutama dari negara penghasil emisi terbesar seperti Amerika Serikat dan Cina, dan komitmen untuk pembangunan berkelanjutan dari semua negara.
Tujuan COP 21 sangatlah jelas, semua Negara harus mengadopsi perjanjian yang mengikat secara hukum untuk mengurangi emisi karbon global dan menjaga pemanasan dibawah ambang batas 2 derajat, sementara, menurut kawan-kawan environment di paris, sesungguhnya perubahan iklim pada tahun ini, sangat diluar dugaan, iklim yang unpredictable, dengan rata-rata 7-8 derajat pun, bagi masyarakat 4 musim ini pun masih dianggap cukup dingin, sehingga penetapan pemanasan dibawah ambang 2 derajat, diakui sebagai criminal justice,penetapan sepihak inilah yang secara khusus mendapatkan pertentangan dari kawan-kawan civil soeciety yang hadir pada COP 21 tersebut.
Menyadari bahwa perubahan iklim merupakan ancaman mendesak dan berpotensi buruk terhadap masyarakat dan planet ini,sehingga kerjasama antar bangsa, terutama komitmen tinggi diperlukan untuk merespon dan mempercepat pengurangan gas rumah kaca dan emisi. selain itu, kesadaran yang ditunjukkan oleh negara bahwa perubahan iklim telah mengancam keberlanjutan hidup masyarakat lokal/adat, migran, anak-anak, penyandang cacat dan orang-orang dalam situasi rentan dan hak untuk pembangunan, serta kesetaraan gender, pemberdayaan perempuan dan keadilan antargenerasi, perlu terus dipromosikan dan diperteguh dengan komitmen yang tinggi.
Tulisan ini tentu tidak akan membahas apa yang sudah dimuat dalam Adaptation of the Group Agreement, karena hasil COP 21 tersebut dapat dilihat pada www.unfcc.int, tetapi dari perjalanan yang melelahkan selama 12 hari ini tentang bagaimana Negara memandang masyarakatnya dalam skema perubahan iklim ini, pandangan pertama saya layangkan pada papan besar para sponsor pelaksanaan COP 21 Paris, beberapa perusahaan besar yang jelas-jelas melakukan praktek perdagangan bebas yang tidak fair, merugikan dan menurunkan derajat kemanusiaan, melemahkan,merusak sumber hidup masyarakat lokal dan tidak berpihak terhadap perempuan dan anak, ucapan terimakasih dari Pemerintah Perancis telah cukup mencederai rangkaian perjalanan COP 21 ini, yang pada akhirnya melemahkan seluruh kepercayaan saya pada sektor-sektor swasta, dan termasuk NGO Internasional yang memberikan dukungan terhadap pendanaan iklim yang kini seolah menjadi primadona atas jalan keluar bagi perbaikan tingkat hidup masyarakat yang rentan terhadap perubahan iklim dunia.
Hal baru yang akan saya soroti cukup panjang dalam tulisan ini adalah dimasukkannya untuk pertama kali soal loss and damage, kerugian dan kerusakan akibat perubahan iklim. Naskah final Kesepakatan Paris memasukkan mekanisme untuk menangani kerugian secara keuangan yang dialami negara-negara yang rentan terkena dampak perubahan iklim, termasuk cuaca yang ekstrim. Tentu saja, atas permintaan negara besar seperti Amerika Serikat, tidak dimasukkan kalimat yang terkait dengan kewajiban dan kompensasi yang bisa membuka peluang bagi negara atau rakyat di area terdampak perubahan iklim, menggugat dan meminta ganti rugi kepada perusahaan AS. Maklum, korporasi Negeri Paman Sam ada di mana-mana.
Dalam beberapa panel Indonesia yang membahas secara subtansi mengenai dampak dan skema pendanaan perubahan iklim ini masih berkutat pada cerita indah keberhasilan, bagaimana pendanaan yang mereka berikan sebagai kompensasi akibat rusaknya ruang hidup masyarakat yang salah kelola selama ini, perusahaan besar dianggap telah bertanggung jawab dan berhasil ikut menyelamatkan desa/wilayah dengan pendanaan yang dikelola melalui yayasan/lembaga serupa NGO yang mereka bentuk sendiri. Climate Fund dianggap memenuhi syarat penting dalam usaha penyelamatan lingkungan hidup yang selama ini kesalahannya ditimpakan pada perkebunan besar dan industri ekstraktif, dalam satu kesempatan panel tentang integrated benefit sharing mechanism at village level di paviliun Indonesia, saya ikut memberikan pandangan bahwa perkebunan besar dan industri ekstraktif di Indonesia bukan hanya telah menghancurkan sumber daya alam saja,tetapi juga telah menghilangkan dan menghancurkan budaya, ruang hidup komunitas dan kemampuan/inisiatif lokal masyarakat.
lewat skema baru yang bernama Green project, adakah manfaat yang diterima oleh kelompok rentan dampak perubahan iklim tersebut, Green Project telah menasbihkan proteksi baru dan menghilangkan kedaulatan masyarakat atas hutan,air,kebun,pesisir,laut dan rawa yang mereka miliki, masyarakat lokal beradab sejak bertahun lamanya,mereka memiliki kemampuan (tradional) yang kauh lebih mumpuni dalam meredusir perubahan-perubahan alam. Karena itulah,skema pendanaan yang berkeliling dalam masyarakat (desa) khususnya telah beralih defenisi menjadi jalan keluar paling baik yang diterima oleh sektor swasta dan pemerintah, Sehingga menurut Budiman Sujatmiko,(salah satu narasumber) UU Desa menjadi inti dalam mereintepretasi bahwa dana desa juga menjadi salah satu sumber kekuatan untuk memperkuat solidaritas dan menggabungkan antara antisipasi dan partsipasi untuk memperkuat usaha masyarakat dalam adaptasi perubahan iklim, sementara itu, konsep Climate Fund tidaklah termasuk dalam rebuilding ruang hidup masyarakat yang salah kelola, yang telah ditegaskan oleh Sarekat Hijau Indonesia (Indonesia Green union) dalam Main Programnya tentang Green Village Development.
Cara pandang keliru negara dalam memahami siapa yang berhak atas daulat ekonomi lokal telah mempertegas keberpihakan Negara terhadap sektor swasta, tak ada benar-benar Negara secara bersungguh sungguh menampilkan kondisi buruknya hutan, tanah,dan sederet konflik yang diakibatkan oleh perusahaan-perusahaan besar yang telah membabat jutaan hektar hutan kita, tak ada yang bersuara soal kriminalisasi terhadap perusahaaan besar sawit yang telah menyebabkan buruknya kualitas hidup masyarakat, dan bagaimana Negara-negara Eropa dan Amerika menurunkan cara hidup mereka yang boros terhadap energi dan permintaan akan tissue dalam skala besar.
Keseriusan Negara-negara peserta COP 21 memang harus terus di uji. Kesepakatan Paris bukan produk yang sempurna yang mengakomodir semuà kepentingan. Kesepakatan ini mengakomodir kebutuhan semua negara dalam posisi kerja di atas batas-batas negara dengan segala konsekuensi atas perubahan iklim bagi kemanusiaan, termasuk didalamnya untuk kepentingan perempuan dan generasi muda/anak, masyarakat adat serta para pengungsi akibat iklim,haruslah terus menerus menjadi perhatian negara, banyak panel yang diorganize oleh organisasi masyarakat yang secara khusus menyoroti dampak perubahan iklim terhadap perempuan dan kelompok rentan lainnya, tetapi tentu dukungan negara tetap menjadi unsur penting, dengan tidak memberikan batas tolerasnsi terhadap sektoral yang secara khsusus berkontribusi pada kerusakan ruang kelola masyarakat.
Bagi kita masyarakat sipil, Negara harus teruslah diingatkan, diperingatkan bila melanggar nilai-nilai kemanusiaan terhadap kelompok rentan umumnya, peristiwa ini diakhiri dengan aksi bersama yang dilakukan oleh kawan-kawan civil Society dan parpol yang secara khusus selama 2 minggu terakhir terlibat dalam perundingan besar COP 21.