Peradaban Minimalisme: Jawaban atas Rekonstruksi Jiwa yang Diserang oleh Tekanan Industri Kapitalis: oleh Ade Indriani Zuchri
Gaya hidup minimalisme adalah cara baru untuk memotong rantai ketertumpukan pada barang yang tidak penting dan tidak berdaya guna maksimal, umumnya setiap manusia memiliki kepuasaan untuk mengkonsumsi barang berdasarkan kuantitas, bahkan pada beberapa pemahaman, kuantitas bermakna pada tingkat ekonomi yang mapan, dengan arti lain, semakin banyak barang dan kemampuan membeli, maka semakin besar kemampuan ekonomi, kalau saja pemahaman ini menjadi ideologi,paradigma dan keyakinan, dapat kita yakini, bumi ini akan menanggung beban luar biasa terhadap sampah dan kerusakan lingkungan.
Minimalisme adalah gaya hidup kaum urban dewasa ini yang mulai marak di kota-kota besar di dunia, mayoritas pengikut gaya hidup minimalis ini adalah kaum muda urban yang telah memiliki kesadaran bahwa kualitas adalah goal, bukan pada kuantitas. Menurut Fumio Sasaki dalam bukunya goodbye things hidup minimalis ala orang Jepang minimalis adalah seseorang yang benar-benar mengetahui apa yang penting bagi dirinya sendiri dan tetap mempertahankan hal-hal tersebut untuk dirinya.
Kita bisa bayangkan dan lihat dalam rumah kita, berapa banyak benda yang berada dalam daftar tumpukan,menjadi beban sejarah dan psikologis, ingin dibuang tetapi sayang,mungkin karena kenangan atau barang tersebut diperoleh dengan cara kredit/susah, tetapi penggunaanya sdh sangat jarang dilakukan, secara tidak sadar situasi yang menekan ini akan masuk kedalam bawah sadar dan menyebabkan fikiran dan jiwa akan dikonstruksi oleh perasaan buruk dan terjadilah serangan-serangan psikologis.
Minimalis acapkali disebut sebagai sebuah Gerakan yang berbasis penghematan/pelit, orang sangat susah membedakan mana pelit mana mana minimalis, padahal minimalis adalah sebuah mindset atau sikap bijak kita untuk mengontrol segala kebutuhan hidup terhadap barang pribadi kita bukan hanya keinginan kita semata. Hidup minimalis berarti kamu memaksimalkan barang yang kamu miliki dan mengurangi barang yang “mungkin” sebenarnya tidak berarti untukmu, Ketika kita telah memiliki satu benda yang kita anggap paripurna memnuhi kebutuhan kita,lalu benda selanjutnya adalah alat puas terhadap eksistensial yang maknanya berubah menjadi keinginan, situasi yang menyebabkan membesarnya eksistensial pada diri manusia acapkali dipengaruhi bawah sadar atau traumatic yang mungkin saja pada masa lampau, sulit untuk memiliki sesuatu, sehingga ketika ada perubahan pada financial,maka keinginan pada bawah sadar naik merinsik menjadi seolah olah kebutuhan.
Pada era konsumerisme dengan serangan berbagai propaganda kapitalisme global, maka peradaban minimalisme adalah media tepat untuk memutus banyak rantai keterhubungan dengan ketidakefisienan dan kerusakan, akan banyak manfaat yang bisa kita kontribusikan sebagai umat manusia, kitab isa menekan jumlah sampah yang diakibatkan oleh sisa-sia barang yang dibeli karena keinginan,sehingga kita memberi kualitas dan umur Panjang pada bumi, kita juga memiliki waktu yang berkualitas yang selama ini terbuang untuk mengurus tumpukan barang-barang yang enggan dibuang, kita kehilang experience self atau kemampuan sosial kita yang semakin terdegradasi karena situasional tumpukan barang, ada banyak kehilangan yang sebenarnya telah kita sadari,tetapi enggan kita akui.
Banyak dari kita, memahami kebahagiaan adalah manifestasi dari tumpukan barang yang kita beli dengan latar belakang cerita yang haru biru, dari mulai terjebak pada trauma masa lalu, kemiskinan, dan ketidak bahagian, menjadi latar belakang terbesar, mengapa kita banyak membeli barang yang tidak kita perlukan, tidak dalam jumlah sedikit, bahkan diantaranya hampir menjadi kegilaan dan cenderung tidak mampu mengontrol keinginan untuk berbelanja dengan baik, minimalisme bukan hanya soal buy things too much, tetapi juga minimalisme adalah tools yang memproteksi diri kita dari hal-hal yang membawa ketidak nyamanan dan menimbulkan gangguan paripurna pada psikologis, misalnya terlalu banyak mengikuti sosial media , akun-akun yang tidak berhubungan dengan aktvitas kita, atau terlalu banyak memposting hal-hal yang personal. Dengan banyak kemubaziran ini, maka kita secara tidak sadar telah mengizinkan gangguan untuk menyerang fikiran,diri dan jiwa kita, alhasil, jangan heran, bila penyakit jiwa dan hal buruk lainnya akan tercermin seketika pada diri kita.
Menerapkan goals dalam hidup yang selama ini kita manifestasikan dalam bentuk things haruslah perlahan mulai dirubah, konversi terbaik dari things adalah experiences, experiences bukan sekedar asupan bagi jiwa, tetapi keseimbangan bagi diri yang memerlukan penguatan dan peningkatan kapasitas, semakin banyak konversi experiences yang dilakukan, akan semakin sehat jiwa, dan berdampak baik bagi kelangsungan hidup kapasitas diri.
Peradaban Minimalisme mungkin membutuhkan beberapa periodic lagi untuk dapat diterima, karena culture masyarakat kita yang guyub dan kolektif, sehingga tidak memungkinkan paham ini berkembang dengan cepat, tetapi kesadaran yang genuine harus segera dibangun, minimal memulia dari diri kita sendiri, saat ini dan sekarang juga. Sehingga kita mampu memhami bahwa Minimalisme adalah sebuah nilai hidup yang menjadi pegangan agar kita menjadi manusia yang paripurna kebaikannya pada alam, semesta, sesama manusia dan pada akhirnya mampu keluar dari jeratan kapitalisme global yang berlomba-lomba mengeruk akal sadar kita melalui tameng industry dan kenyamanan duniawi. (MY)
Note: gambar diambil dari IG @odewawan