Sungai Musi yang Kehilangan Arsipnya

Oleh Taufik Wijaya & Yusuf Bahtimi

Sungai Musi, dengan panjang 750 km, berhulu di Bukit Barisan, situs Warisan Dunia UNESCO, dan bermuara di Selat Bangka; memainkan peran penting dalam sejarah Indonesia.

Sriwijaya, sebuah kerajaan thalassokrasi, memerintah sebagian Indonesia moderen selama lima abad [7-12 M]. Sriwijaya memilih Sungai Musi sebagai ibu kotanya untuk pemerintahan, perdagangan, kegiatan keagamaan dan pengajaran. Palembang dibangun di tepi Sungai Musi oleh kerajaan Sriwijaya sebagai ibu kotanya pada abad ke-7.

Mengapa Sungai Musi yang dipilih?

Sejumlah arkeolog memperkirakan, pilihan tersebut dikarenakan Sungai Musi bermuara di Selat Bangka. Selat Bangka adalah pertemuan Selat Malaka [Barat], Laut China Selatan [Utara] dan Laut Jawa [Timur], yang merupakan jalur perdagangan sangat ramai di masa lalu. Dikenal sebagai Jalur Rempah [Indonesia] atau Jalur Sutra Maritim [China].

Selain itu, dikutip dari Bambang Budi Utomo [1954-2022], arkeolog lahan basah, Sungai Musi yang kini masuk ke wilayah pemerintahan Sumatera Selatan, juga terhubung dengan Bukit Barisan, dataran tinggi yang membentang dari selatan hingga utara Pulau Sumatera. Bukit Barisan kaya dengan flora dan fauna, serta emas.

Pada 2004, UNESCO [The United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization] menetapkan Bukit Barisan sebagai Situs Warisan Dunia Hutan Hujan Tropis Sumatera.

Di masa Sriwijaya, Sungai Musi yang memiliki delapan anak sungai besar; Sungai Komering, Sungai Ogan, Sungai Lematang, Sungai Lakitan, Sungai Kelingi, Sungai Rawas, Sungai Rupit, dan Sungai Batanghari Leko, merupakan jalur transportasi berbagai komoditas rempah dan emas. Rempahnya antara lain kayu manis, damar, dan gaharu.

Pada masa pemerintahan Kesultanan Palembang dan Hindia Belanda, Sungai Musi digunakan untuk membawa lada, kopi, teh, getah karet, dan beragam hasil alam lainnya.

Sekarang, di masa Republik Indonesia, Sungai Musi dipenuhi kapal tongkang yang membawa berton-ton batubara menuju Selat Bangka, Selat Malaka, Laut China Selatan, dan Pulau Jawa.

Tidak banyak yang mengkaji dan menulis, jika Kedatuan Sriwijaya memilih Sungai Musi dikarenakan sebagian besar ekosistemnya adalah lahan basah, berupa rawa, gambut dan mangrove, bersama ratusan sungai kecil dan belasan sungai besar. Pada saat ini luasnya sekitar tiga juta hektar.

Di ekosistem Sungai Musi, penguasa dan masyarakat Sriwijaya terpenuhi semua kebutuhannya. Mulai dari kebutuhan pangan, sandang, ekonomi, hingga perkapalan dan dermaga yang menggunakan beragam jenis kayu. Misalnya ulin [Eusideroxylon zwageri], rengas [Gluta renghas], dan sejumlah jenis meranti [Shorea].

Tepatnya, ekosistem Sungai Musi menjadi “supermarket” Kedatuan Sriwijaya.

Disebut supermarket dikarenakan lahan basah pada ekosistem Sungai Musi kaya dengan flora dan fauna. Hampir semua jenis flora dan fauna di dataran tinggi dan rendah ada di lahan basah. Tapi tidak semua flora dan fauna di lahan basah ditemukan di dataran tinggi dan rendah.

Fauna khas Sumatera yang masih bertahan di lahan basah ekosistem Sungai Musi hingga saat ini; harimau sumatera [Panthera tigris sumatrae] dan gajah sumatera [Elephas maximus sumatranus].

Surganya ikan

Ekosistem Sungai Musi adalah “surga” bagi ratusan jenis ikan air tawar. Diperkirakan sekitar 620 jenis ikan air tawar.

Melimpahnya ikan, membuatnya menjadi sumber pangan protein bagi masyarakat Sriwijaya.

Pempek, makanan hasil olahan daging ikan dan sagu [Metroxylon sagu], diperkirakan salah satu makanan pokok masyarakat di masa Sriwijaya. Bentuknya lenjeran atau bulat memanjang. Pempek dapat bertahan selama beberapa hari, sehingga dapat dibawa dalam perjalanan. Jika pempek mengeras, maka diiris tipis-tipis, dijemur, lalu dipanggang menjadi kerupuk.

Sementara sagu, tanaman sumber karbohidrat, banyak ditemukan secara liar di ekosistem Sungai Musi.

Kemungkinan, sagu menjadi sumber karbohidrat utama masyarakat Sriwijaya, dapat dibaca dari isi Prasasti Talang Tuwo yang dibuat pada 684 Masehi. Di dalam prasasti tersebut, dijelaskan seorang penguasa Kedatuan Sriwijaya membuat sebuah taman [kebun] yang berisi sejumlah tanaman. Di dalam kebun bernama Sri Ksetra itu disebutkan tanaman sagu, kelapa, aren, serta beragam jenis labu dan bambu. Tidak disebutkan tanaman padi, kentang atau gandum.

Para arkeolog yang meneliti Kedatuan Sriwijaya belum menemukan artefak peralatan mengelola padi menjadi beras. Saat ini, beras menjadi makanan pokok sebagian besar orang Indonesia.

Selain dijadikan pempek, ikan juga dijadikan masakan. Misalnya pindang, sup ikan yang menggunakan rempah-rempah. Jika hasil tangkapan ikan berlebih, diolah menjadi ikan asap, ikan asin, hingga pekasem [ikan yang difermentasi]. Hasil pengelolaan ikan tersebut kemudian dimasak pindang, dibakar, atau ditumis [menggunakan sedikit minyak goreng].

Ketika beras menjadi makanan pokok, beragam jenis masakan berbahan ikan tersebut tetap bertahan hingga saat ini.

Dalam perkembangannya, ikan dan olahan ikan menjadi komoditas ekonomi bagi masyarakat yang hidup di ekosistem Sungai Musi. Mereka hidup makmur.

Kemakmuran tersebut “mengundang” sejumlah pendatang dari berbagai wilayah di Asia Tenggara dan India untuk menetap di pedalaman ekosistem Sungai Musi, atau jauh dari Kota Palembang.

Beberapa daerah pedalaman ekosistem Sungai Musi, yang di masa pemerintahan Hindia Belanda dikenal sebagai sentra ikan. Misalnya, Sirah Pulau Padang, Pampangan, Pangkalan Lampan, Pedamaran yang kini masuk Kabupaten Ogan Komering Ilir [OKI], Muara Kuang dan Pemulutan [Ogan Ilir], Lais dan Babat Toman {Musi Banyuasin], serta Rambutan, Sungsang, dan Sugihan [Banyuasin].

Selain tradisi kuliner, keberadaan ikan juga melahirkan tradisi ritual, yang disebut “sedekah sungai”. Sebuah ritual memuja dan berterima kasih kepada Tuhan yang telah memberikan rezeki berupa ikan.

Meskipun ikan melimpah, masyarakat di ekosistem Sungai Musi, menggunakan alat tangkap ikan yang lestari. Alat tangkap ini disebut “bubu”. Bubu adalah perangkap ikan yang terbuat dari bambu atau rotan berbentuk lonjong.

Dinilai lestari karena ikan yang terperangkap di dalam bubu tidak mati. Juga, dapat dipilih ukuran ikannya. Yang besar diambil, kecil dikembalikan ke alam.

Tinggal arsip

Sekarang, kekayaan flora dan fauna pada ekosistem Sungai Musi menjadi arsip masa lalu. Arsip yang mungkin hilang pada ingatan generasi mendatang di Indonesia. Digantikan arsip-arsip kecemasan dan kesedihan.

Selama 30 tahun terakhir, sebagian besar ekosistem Sungai Musi mengalami kerusakan oleh aktivitas penebangan hutan, perkebunan skala besar, penambangan mineral, serta pembangunan infrastruktur, dan industri.

Banyak lahan basah menjadi lahan perkebunan dan infrastruktur, yang hampir setiap tahun terbakar. Sungai Musi pun tercemar limbah.

Perusahaan HTI [Hutan Tanaman Industri] dan perkebunan sawit menguasai sekitar 738.137,84 hektar lahan basah. Sebanyak 17 perusahaan HTI menguasai lahan basah sekitar 478.969,20 hektar, dan 70 perusahaan sawit menguasai 259.168,64 hektar lahan basah.

Sejumlah industri sawit dan bubur kertas juga menggunakan lahan basah. Misalnya, PT. OKI Pulp and Paper yang menguasai sekitar 1.700 Ha.

Pembangunan jalan tol juga membelah lahan basah. Misalnya, Jalan Tol Kayuagung-Palembang-Betung yang membentang sepanjang 111,6 kilometer.

Pembangunan infrastruktur lainnya, seperti jalan darat, perumahan, dan perkantoran, juga berlangsung di lahan basah.

Persoalannya, pembangunan infrastruktur tersebut tidak beradaptasi dengan lahan basah. Selain dilakukan penimbunan, juga memutus jalur air di lahan basah.

Hampir setiap tahun, lahan basah yang menjadi perkebunan sawit dan HTI mengalami kebakaran. Lahan basah yang terbakar ini dikenal sebagai rawang atau gambut.

Akibat kebakaran ini, Sumatera Selatan menjadi salah satu provinsi di Indonesia sebagai pengekspor kabut asap. Kabut asap yang dirasakan hingga ke Singapura dan Australia.

Kebakaran besar dimulai tahun 1997, kemudian 1998, 2006, 2007, 2008, 2014, 2015, dan terakhir pada 2019. Tahun 2020, 2021 dan 2021 tidak terjadi kebakaran dikarenakan adanya fenomena La Nina, yang menyebabkan kemarau basah.

Pencemaran di ekosistem Sungai Musi juga cukup tinggi. Berasal dari limbah industri dan domestik. Industrinya mulai dari pabrik pupuk PT. Pupuk Sriwijaya, perusahaan migas Pertamina Plaju, puluhan perusahaan pengelolaan getah karet, puluhan pabrik pengelolaan minyak sawit, sejumlah pabrik energi batubara, hingga limbah dari perkebunan skala besar seperti sawit, tebu, karet, serta penambangan batubara dan emas.

Sebagian besar kota di Sumatera Selatan juga berada di tepi Sungai Musi dan delapan anak sungai besarnya, seperti Kota Palembang, Sekayu, Muaraenim, Baturaja, Lahat, Lubuklinggau, Kayuagung, Muaradua. Semua limbah domestik masyarakat di kota-kota tersebut dibuang ke sungai.

Sebuah penelitian yang dilakukan Tim Ekspedisi Sungai Nusantara [ESN] bersama Telapak Sumatera Selatan dan Spora pada pertengahan 2022 lalu, menyatakan dalam 100 liter air Sungai Musi ditemukan 355 partikel mikroplastik. Mikroplastik yang dominan jenis fiber atau benang-benang [80 persen] dan mikroplastik lainnya; fragmen, filamen, dan granula.

Air Sungai Musi juga memiliki kadar polutan tinggi, seperti logam berat mangan sebesar 0,2 ppm, dan tembaga sebesar 0,06 ppm [standard maksimalnya 0,03 ppm per liter].

Kadar klorin dan fosfat juga tinggi. Kadar klorin sebesar 0,16 mg dan kadar fosfat mencapai 0,59 mg [standard maksimal 0,03 mg per liter].

Tingginya kadar klorin dan fosfat diduga memengaruhi populasi ikan. Sebab, mengganggu sistem pernapasan ikan dan pembentukan telur.

Kriminalitas

Kerusakan yang terjadi di ekosistem Sungai Musi, menyebabkan sekitar 400-an jenis ikan air tawar sudah sulit ditemukan. Populasi ikan air tawar terus menurun.

Akibatnya banyak keluarga yang sebelumnya hidup dari ikan, kini kehilangan pendapatan dan sumber protein [pangan]. Mereka hidup dalam kemiskinan.

Kemiskinan tersebut membuat banyak generasi muda tidak sehat dan minim pendidikan formal.

Meskipun belum ada penelitian mengenai tingkat kriminalitas di dalam masyarakat yang menetap di eksosistem Sungai Musi, tapi berdasarkan berbagai informasi dari masyarakat dan pemberitaan media massa, fenomena kriminalitas terus meningkat. Mulai dari pencurian, perampokan, penipuan, hingga bisnis narkoba.

Selain itu, sebagian generasi muda memilih menjadi penambang timah ilegal di Pulau Bangka, buruh industri di kota-kota besar, menjadi tenaga kerja di luar negeri [Malaysia dan Singapura], termasuk menjadi buruh atau awak kapal penangkap ikan asing.

Pertanian, peternakan, dan pertambakan

Apa yang dilakukan Pemerintah di Indonesia terkait kerusakan yang dialami ekosistem Sungai Musi?

Skema restorasi gambut yang dijalankan Badan Restorasi Gambut dan Mangrove [BRGM] belum mampu menghentikan kebakaran hutan dan menekan pembukaan lahan basah menjadi perkebunan dan infrastruktur.

Pemberdayaan ekonomi lebih mendorong masyarakat untuk mengembangkan pertanian dan peternakan. Sementara pengetahuan pertanian dan peternakan bagi sebagian besar masyarakat yang menetap di ekosistem Sungai Musi merupakan hal baru. Pengetahuan ini banyak dikuasai para pendatang atau transmigran di lahan basah.

Di sektor perikanan, pemerintah lokal justru mengembangkan pertambakan ikan. Ikan air tawar yang ditambak adalah lele dumbo [Clarias gariepinus] dan nila [Oreochromis niloticus] yang merupakan ikan air tawar dari Afrika. Bukan ikan air tawar lokal yang banyak dikonsumsi seperti lais, baung, gabus, dan toman.

Disebutkan ikan air tawar lokal ini sulit dikembangkan atau ditambak.

Tidak semua masyarakat dapat mengembangkan pertambakan ikan. Sebab pertambakan membutuhkan modal cukup besar untuk pakannya.

Resikonya cukup tinggi. Jika tambak gagal, misalnya diserang penyakit, mereka mengalami kerugian besar karena sudah mengeluarkan biaya pakan.

)* Taufik Wijaya, jurnalis dan pekerja seni, tinggal di Palembang. Yusuf Bahtimi, kandidat doktor di Oxford University, tengah penelitian lahan basah di Sumatera Selatan. Tulisan ini opini penulis.

Referensi:

  • Among primary sources on Srivijaya is notes written by a Chinese scholar, I-tsing, and different inscriptions found in Sumatra. While among the important sources in the Srivijaya study is the research that George Cœdès conducted: Cœdès, G. “LES INSCRIPTIONS MALAISES DE ÇRĪVIJAYA.” Bulletin De L’École Française D’Extrême-Orient 30.1/2 (1930): 29-80. Web.
  • Detail of concession size is available at Atlas of Deforestation and Industrial Plantations in Indonesia [nusantara-atlas.org].