Sejarah Sarekat Hijau Indonesia

Sejarah berdirinya Sarekat Hijau Indonesia (SHI) tidak terlepas dari dinamika gerakan hijau yang dialami oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) selama 25 tahun (1980-2005). Sebagai organisasi gerakan lingkungan, Walhi menghadapi tantangan yang tidak kecil dalam melakukan advokasi kebijakan di Indonesia. Kerja advokasi ini selalu mengalami benturan dengan birokrasi dan kekuasaan politik. Kasus-kasus lingkungan sering dipatahkan oleh kekuatan politik yang dikuasai oligarki dan imprialisme. Ketidakseimbangan ini diakibatkan dari belum adanya kekuatan politik hijau yang berbasis kerakyatan dalam platform politik formal. Narasi politik non-elektoral belum mampu menghasilkan kebijakan pro lingkungan, sehingga agenda-agenda yang diusung Walhi masih dianggap sebagai agenda pinggiran oleh kekuasaan.

Menyadari hal ini, pada 4 Maret 2005, Walhi membentuk Badan Pekerja Persiapan Pembangunan Organisasi Politik Kerakyatan (BP3OPK). Pembentukan badan ini merupakan mandat Pertemuan Nasional Lingkungan Hidup (PNLH) IX Walhi yang diselenggarakan di Mataram Provinsi Nusa Tenggara Barat, 1-4 Maret 2005 dengan tujuan untuk memperkuat gerakan politik hijau di Indonesia. Badan ini diberi tugas untuk mempersiapkan segala hal yang dibutuhkan dalam pembentukan organisasi politik hijau yang berideologi kerakyatan.

Badan Pekerja ini melakukan kajian, diskusi dan pertemuan-pertemuan dengan berbagai elemen gerakan di seluruh Indonesia. Dari hasil pertemuan yang marathon ini terungkap bahwa semakin menguat kesadaran politik rakyat untuk mendorong kerja-kerja advokasi penyelamatan lingkungan berada pada aras gerakan politik hijau. Hal ini dipacu juga oleh kondisi kerusakan lingkungan yang semakin masif akibat dari pembangunan yang eksploitatif. Tidak ada perubahan paradigma dan strategi pembangunan setelah reformasi 1998, pembangunan masih berorientasi pada pertumbuhan tanpa peduli pada kerusakan lingkungan. Dari kondisi ini, BP3OPK merekomendasikan tiga pilihan: (1) membangun partai hijau, (2) membangun organisasi masyarakat (Ormas) gerakan hijau dan (3) melakukan diaspora politik melalui perangkat politik yang telah ada.

Pada 24 April 2006, berdasarkan resolusi Konsultasi Nasional Lingkungan Hidup (KNLH), Walhi memutuskan membentuk Blok Politik Hijau. Blok politik ini merupakan jaringan kerja yang bertujuan untuk menyatukan aktivis, politisi sampai dengan anggota legislatif untuk mendorong penguatan agenda politik hijau di Indonesia. Pengalaman dalam blok politik ini memberikan arah  untuk melahirkan bentuk orgnisasi politik hijau dalam situasi demokrasi yang dikuasi oligarki dan marginalisasi politik kerakyatan. BP3OPK merumuskan beberapa agenda politik hijau yang mendesak untuk dilakukan dan formulasi organisasi yang akan mengusung agenda tersebut. Semua rumusan ini dimatangkan dalam Kongres Rakyat Indonesia yang dilaksanakan kemudian.

Pada tanggal 6 Juli 2007 diselenggarakan  Kongres Rakyat Indonesia di Jakarta yang dihadiri oleh aktivis dan perwakilan organisasi dari 21 provinsi di Indonesia dengan berbagai latar belakang profesi dan aktivitas, antara lain: aktivis organisasi non pemerintah, mahasiswa, seniman, kader-kader politik hijau, akademisi dan pimpinan organisasi rakyat. Peserta pertemuan ini bersepakat mendeklarasikan Sarekat Hijau Indonesia (SHI)  atau Indonesia Green Union. SHI diformulasikan sebagai Blok Politik Hijau yang demokratik berbentuk organisasi masyarakat (Ormas) yang dimandatkan untuk mengusung agenda politik hijau di Indonesia yang ditetapkan sebagai kesepakatan bersama dalam kongres rakyat tersebut. Adapun pimpinan pertama organisasi ini adalah Chairil Syah yang juga merupakan Ketua Badan Pekerja Persiapan Pembangunan Organisasi Politik Kerakyatan (BP3OPK).

Dalam deklarasi ini dirumuskan bahwa SHI bercita-cita untuk menciptakan tatanan sosial baru. Rakyat didorong untuk BERSATU, BERSAREKAT, DAN BERLAWAN. Dalam membangun kekuatan politik hijau, organisasi ini akan mengarahkan perhatian besar pada penguatan gerakan massa demokratik atas dasar kepentingan bersama dengan basis massa masif yang terdidik dan kritis, serta memiliki kesadaran politik dan ideologi yang kuat sehingga mampu merebut ruang publik dan menguasi diskursus politik hijau yang berasas kerakyatan.

Untuk itu Sarekat Hijau Indonesia akan bekerja dalam tiga siklus kaki, yaitu mendidik, mengorganisir, dan menggerakkan. Siklus ini harus dimulai dari bagian terkecil entitas politik menuju kesatuan politik yang lebih besar. Percepatan pembangunan kekuatan politik ini akan didorong dan bertumpu pada energi perlawanan yang tersebar di tingkat basis, untuk menemukan momentumnya di tingkat kabupaten, provinsi, dan nasional.

Sarekat Hijau Indonesia sebagai Blok Politik Hijau dimandatkan  membangun front persatuan gerakan massa progresif untuk memperkokoh perjuangan rakyat Indonesia yang berwatak pembebasan nasional yang demokratis. Sehingga menjadi kekuatan politik penyeimbang dari kekuatan oligarki yang bertindak sebagai bentuk kelanjutan dari feodalisme (selain sikap patriarkis, rasis, militerisme, dan premanisme), serta penyeimbang kekuatan politik, ekonomi, dan budaya dari imperialisme. Gerakan progresif menentang imperialisme ini juga merupakan upaya untuk melakukan dekolonisasi ekologi di Indonesia.