David Efendi Serukan 3 Karakter Moral Wujudkan Kedaulatan Lingkungan di Simposium SHI dan Republik Hijau

Shi.or.id, Dosen Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), David Efendi sebagai salah satu penanggap mengawali dengan mengemukakan potensi yang dimiliki oleh Sarekat Hijau Indonesia.

“Sarekat Hijau Indonesia sebagai gerakan masyarakat sipil dan gerakan pro demokrasi memiliki kekuatan lebih dalam berserikat dan bersatu untuk mengagendakan gerakan-gerakan untuk mempertahankan lingkungan hidup yang tantangannya semakin besar pasca pemilihan umum.” Jelasnya dalam Simposium Lingkungan yang diselenggarakan oleh Sarekat Hijau Indonesia bekerjasama dengan Republik Hijau pada ahad, 17 Maret 2024.

“Konteksnya pemilu tahun 2024 yang sepertinya memenangkan kelompok yang akan berlawanan dengan kita dan akan cenderung mendorong program hilirisasi (misalnya) yang akan lebih banyak menjadikan gerakan masyarakat sipil berbasis kerakyatan semakin memiliki hambatan.” Tambahnya.

Menanggapi pesan David D’Angelo, pengajar Ilmu Pemerintahan ini mencoba mengajak untuk belajar dari petani dalam menghadapi gulma pada aktivtas pertanian. Gulma merupakan sejenis tanaman yang tidak dikehendaki tetapi tumbuh dan menganggu tanaman yang diharapkan sebagai sumber pangan. Akan tetapi, petani tidak pernah putus asa melainkan kehadiran gulma memunculkan kreatifitas para petani untuk tetap mendapatkan hasil panen yang diharapkan.

Kaitannya dengan pemilihan umum sebagai pijakan perjuangan. Kader Hijau Muhammadiyah ini merasa perlu untuk mengupayakan sebuah rerfleksi agar ke depan gerakan lingkungan memiliki kekuatan yang lebih memadai serta daya lawan yang dapat diperhitungkan.

“Refleksi yang pertama adalah pemilu ini adalah pemilu yang penuh gulma. Artinya pemilu yang tidak dikehendaki dimana terdapat banyak aktor yang tidak dikehendaki tetapi menjadi kekuatan dominan sehingga yang kita sesalkan bukan hanya dalam konteks lingkungan dalam hal ini sampah pada saat pesta pora yang menghasilkan decak karbon yang besar. Akan tetapi, kita tidak melakukan recovery secara ekologi tetapi kita kembali pada normalitas bahwa persoalan lingkungan bukanlah merupakan perhatian utama publik dan negara.Refleksi yang kedua adalah pemilu diharapkan mampu menjadi ruang untuk menghukum yang tidak pro lingkungan dengan tidak kita pilih. Akan tetapi narasi tersebut tidak dimenangkan alhasil kemenangan telah berada pada kelompok yang mempunyai agenda yang dapat menghancurkan lingkungan salah satunya dengan melanjutkan Undang-undang Cipta kerja. Karena sesungguhnya dalam pemilu bukan hanya pada dampak ekologi dari operasionalisasi penyelenggaraan pemilu dengan sampah dan decak karbon yang besar tapi kemenangan itu mengancam ekosistem serta agenda penyelamatan lingkungan sacara jangka panjang.” Tegasnya.

Ia juga menyampaikan bahwa SHI harus memiliki kemampuan untuk bertahan dalam menghadapi setiap tantangan.

“Oleh karena itu kita harus memiliki napas panjang karena jika dibandingkan dengan gerakan sarekat hijau atau komunitas lingkungan lainnya tidak punya alat yang cukup memadai untuk menghadapi negara serta korporasi dengan kekuatan yang terstruktur dan sistematis baik secara birokrasi maupun perangkat hukum.”Jelasnya.

Meski demikian, David Effendi optimis bahwa dengan gagasan-gagasan di kepala pegiat lingkungan yang diperkuat menjadikan hal yang mungkin untuk melakukan perlawanan. Sebagaimana yang dikemukakan oleh James Scoot sebagai Weapon of the Weak yakni senjata modal berhadapan dengan kekuatan dengan persenjataan yang lemah dalam hal ini tidak memiliki kekuatan politik secara legal. Dan pada kenyataannya gerakan lingkungan tidak hanya berserikat dengan manusia tetapi alam yang seringkali membenarkan narasi yang diusungkan.

“Misalnya, ketika kita menolak tambang dan terjadi longsor yang mematikan infrastruktur sesungguhnya longsor sedang memihak kita.” Jelasnya

Bertolak pada refleksi tersebut Dafid Effendi mencoba menyerukan kontribusi sebagai masyarakat sipil untuk menghambat kekuatan anti lingkungan serta anti kedaulatan pangan dengan membangun tiga karakter moral.

Pertama, moral ekonomi dengan mengidentifikasi potensi pangan yang baik sebelum adanya pertambangan (misalnya) sederhananya mampu hidup layak tetapi terdapat mitos kesejahtraan yang dibangun oleh perusahaan-perusaahan terkait seperti iming-iming lapangan kerja, sehingga narasi tersebut dianggap mampu memberikan kesejahtraan.

Kedua, moral ekologi adalah moral keseimbangan artinya dengan mengambil banyak pada alam maka sudah seharusnya kita manusia tidak bertindak buruk kepada alam sederhananya berorientasi pada masa depan kehidupan yang dibangun dengan kesadaran spiritual dan untuk mewujudkan moral ekologis diperlukan moral politik.

Ketiga, Moral politik memiliki dimensi yakni struktural dan kultural. Bagi kesadaran tertentu, moral politik memerlukan perjuangan formal. Hal ini dikarenakan terdapat stabilitas perjuangan jika berada dalam sistem sehingga mendorong moral politik dalam perubahan politik secara formal adalah hal ideal. Meskipun pada kenyataannya kita berada diluar sistem bukan berarti perjuangan yang tidak penting karena dalam konteks tertentu menjadi kelompok penekan yang porektif terahadap negara tidak terlaksana jika tidak berada di ruang ini.

Simposium ini diikuti peserta dari berbagai latar belakang yang memiliki kepedulian dalam mewujudkan kedaulatan lingkungan dan pangan.