“Hijau Sosialistik atau Hijau Kapitalistik”?

“Hijau Sosilistik atau Hijau Kapitalistik”?

Ade Indriani Zuchri

Ketua Umum Sarekat Hijau Indonesia

 

Judul ini saya ambil ketika mendengarkan pandangan Rocky Gerung,saat  ditanya soal debat cawapres putaran 4 untuk isu Pembangunan berkelanjutan, Sumber Daya Alam, Lingkungan Hidup, Energi,Pangan,Agraria, Masyarakat Adat dan Desa, tanggal 21 Januari 2024 lalu. Hilirisasi menjadi issu penting yang disampaikan oleh Gibran sebagai Cawapres yang mendukung penuh kebijakan pemerintah saat ini, dimana pemerintahan Jokowi menitik beratkan pembangunan infrastruktur sebagai program utama dan penting,yang secara terus terang disampaikan oleh Gibran akan diteruskan bila terpilih.

Sebenarnya apa yang Gibran, dan kita fahami soal istilah hijau dengan banyak diksi, seperti greenflation,greenjobs dan banyak istilah lainnya, yang sebenarnya sebagai seorang aktivis lingkungan baru saya ketahui setelah debat terjadi.  Apakah pandangan Gibran dengan “hijau” adalah dimaksudkan sebagai ideologi bangsa Indonesia, yang secara corak ekonomi memilih kapitalistik? atau ‘hijau” yang dimaksud adalah bentangan hijau sawit dan akasia atau hijau monolitik yang tentu itu bukan komoditi rakyat, karena komoditi rakyat seperti kopi, coklat, padi, pala dan lainnya, tentu tidak membutuhkan lahan ribuan hektar, beberapa diantara komoditi rakyat tersebut ditanam secara subsisten untuk kepentingan jangka pendek,yaitu kebutuhan sehari-hari.

Pandangan masyarakat hijau yang bergabung dalam partai hijau global memandang Politik hijau yang biasa disebut sebagai Green Party adalah pemahaman bahwa titik berat kehidupan bukan pada ekonomi melainkan pada alam (Ekosentris), lantas pandangan ini akan menempatkan keseimbangan ekologi sebagai faktor pertumbuhan dan perkembangan negara, setelah sebelumnya beberapa negara mengakui bahwa ekonomi dan nilai moral yang berujung pada beberapa peperangan. Karenanya di negara-negara yang partai hijau atau ideologi hijau nya kuat, maka akan ada penolakan terhadap produk-produk yang masuk ke negera mereka, apabila produk tersebut bermasalah dengan perhormatan terhadap hak human (dalam pandangan kaun hijau, human adalah penyebutan untuk manusia, tumbuhan dan hewan), setidaknya  Ada lima alasan Parlemen Uni Eropa mengeluarkan kebijakan larangan impor CPO dan produk turunannya, yaitu industri sawit menciptakan deforestasi, degradasi habitat satwa, korupsi, mempekerjakan anak, dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM).

Berdasarkan laporan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), terdapat 212 konflik agraria yang terjadi di Indonesia sepanjang 2022. Jumlah konflik itu bertambah 2,36% dibanding tahun lalu, yang totalnya 207 kasus. Seluruh konflik agraria di Indonesia pada 2022 melibatkan lahan seluas 1,03 juta hektare (ha), serta berdampak pada 346.402 kepala keluarga (KK) yang tersebar di 459 desa/kota. Konflik agraria pada 2022 paling banyak terjadi di sektor perkebunan, yakni 99 kasus, dengan luas wilayah konfllik 377,19 ribu ha dan korban terdampak 141.001 KK. Dari jumlah tersebut, 80 kasus di antaranya terjadi di perkebunan sawit. Konflik agraria juga banyak terjadi di sektor pembangunan infrastruktur, yaitu 32 kasus. Luas lahan konfliknya mencapai 102,75 ribu ha yang berdampak pada 28.795 KK. Konflik di sektor infrastruktur berasal dari proyek pembangunan pariwisata, bendungan, jalan tol, pembangkit listrik, hingga fasilitas umum.

Dengan tingginya konflik agraria yang terjadi di wilayah tinggi investasi ekstraktif dan perkebunan besar, telah menyebabkan banyak masyarakat,terutama desa, menerima dampak atau kerusakan sumber daya alam mereka, yang selama ini menjadi tumpuan hidup mereka, dengan kerusakan alam dan sumber daya yang tinggi menyebabkan masyarakat telah terjauhkan dari berbagai akses, terutama akses utuk mendapatkan pangan yang layak, dengan alih fungsi hutan, yang awalnya hutan menyediakan banyak pangan lokal dan obat-obatan alam.

Kaum loyalis kapitalis mengadopsi cara pandang Malthus, yang mengatakan bahwa  penduduk akan selalu bertambah lebih cepat dibandingkan dengan pertambahan bahan makanan, kecuali terhambat oleh karena apa yang ia sebutkan sebagai moral restrains, seperti misalnya wabah penyakit atau malapetaka, sehingga untuk menyediakan makan bagi penduduk yang bertambah dengan cepat,maka sistem pertanian rakyat tentu tidak mampu mengejar hasil, maka diperlukan industri,yang akan menjamin ketersediaan makanan, sayangnya teori Malthus tersebut ditawarkan sejak awal kepada Investor, dari sejak zaman Soeharto, dan semakin massif di pemerintahan Jokowi, alasan simple adalah, pada masa orde baru, Indonesia belum memiliki sumber daya manusia untuk mengelola berbagai teknologi untuk mendukung hilirisasi pangan.

Kemarin, di Paris, salah satu kota terbaik dan teraman di dunia yang menawarkan berjuta kenangan, penuh dengan kemudahan mendapatkan peluang hidup, ternyata terjadi aksi protes yang dilakukan oleh aktivis lingkungan, yang melemparkan sup kelukisan monalisa di museum de Louvre, dengan berteriak Anna Holland dan Phoebe Plummer menyatakan, “apa yang lebih penting dari seni saat ini? Klaian seperti  orang kaya yang tidak khawatir akan makanan kalian, sementara diluar gedung ini ribuan rakyat perancis sudah mulai kelaparan,yang kami makan adalah sampah dengan harga mahal”. Mereka kemudian berdiri di depannya, menuntut hak atas “pangan yang sehat dan berkelanjutan”, dengan mengatakan “sistem pertanian kita sedang sekarat”.

Belakangan ini, kota Paris Prancis dilanda protes dari para petani dan para pegiat melakukan aksi-aksi pelemparan bahan makanan tersebut sebagai bentuk protes dalam rangka “pembangkangan” atas kelambanan pimpinan negara maupun dunia dalam menyikapi krisis iklim. Ada pula yang menuntut pemenuhan kesejahteraan hewan, ataupun penutupan pertambangan ekstraksi bahan bakar fosil. Pandemi yang merebak kemudian menambah alasan pemuda tersebut untuk turun ke jalan dan  menyerukan diakhirinya kenaikan harga bahan bakar dan penyederhanaan peraturan.

Kegagalan dunia melindungi bumi ini demi kepentingan keuntungan kaum kapitalis, perlahan dampaknya telah mulai banyak dirasakan secara global, berbagai aksi protes yang dilakukan para petani,buruh,guru, dan profesi lainnya sebagai bentuk kekecewaan publik global kepada para pemimpinnya yang gagal menghadirkan pangan sehat dan berkualitas, alih fungsi hutan untuk perkebunan sawit, hutan tanaman industri dan industri ekstraktif di negera-negara berkembang, telah menghentikan penanaman berbagai komoditi pangan yang sesungguhnya klien utama adalah masyarakat maju seperti Eropa dan Amerika, saat ini kelalaian pemimpin dari negara maju yang ekonominya bercorak kapitalistik murni, mereka yang percaya sepenuhnya bahwa kesejahteraan dipenuhi oleh hilirisasi ekstraktif,telah menuai dampaknya pada saat ini.

Penolakan masyarakat Morowali Utara  kepada PT Gunbuster Nickel Industri (GNI), yang  menyebabkan konflik berdarah, dan juga  kerusakan fasilitas, bentrokan tersebut juga memakan korban jiwa dengan menewaskan tiga orang, dua pekerja lokal dan satu TKAtelah memberikan kita gambaran bahwa hilirisasi yang diserahkan kepada sekelompok kaum kapitalis, akan menuai banyak bencana, yang dampak ekologinya pun akan lebih besar dari manfaat yang diterima,teritama oleh masyarakat disekitar wilayah hilirisasi.

Makna hijau sosialistik yang disampaikan oleh Rocky Gerung, sebenarnya telah lama dilakukan oleh desa-desa di Indonesia, terutama oleh Badan Usaha Milik Desa, perkebunan rakyat dalam skala sedang, pengelolaan pariwisata hijau, dan pengelolaan tambang rakyat, telah  teridentifikasi sejak awal, bila praktek baik ini diteruskan oleh negara dalam bentuk perusahaan negara dan turunannya, kesejahteraan ekonomi akan terdistribusi dengan merata, dan posisi politik rakyat pun akan terlindungi dengan baik, sehingga meaning hilirisasi bukan hanya berdiam pada kerangka fikir ekstraktif semata, dan mati-matian harus dipertahankan.

Pada masa mendatang, bila kita terus rajin melakukan eksploitasi sumber daya alam, mendayagunakan hutan dengan massif,dan membuka investasi dengan mudah,maka kita akan terjauhkan dari akses pangan sehat dan murah, hanya akan sedikit negara-negara yang bersedia menjual pangan mereka dengan senang hati.

Krisis pangan dan krisis iklim akan segera hadir, sawah yang hijau, yang dikelola dengan ekonomi sosialistik yang dalam pandangan kaum kapitalis tidak akan mampu memberikan keuntungan telah diubah menjadi hijau sawit yang akhirnya telah mendatangkan banyak bencana ekologi, pangan yang sedikit saat ini dengan jumlah yangterbatas,telah diperebutkan oleh milyaran manusia di dunia, dan pada saat itu terjadi, maka seperti yang disampaikan Mac Mohan, maka kita tidak akan segan-segan membunuh saudara kita, hanya untuk mendapatkan makan. (MY)

 

Hijau bukan sawit, dan kapitalistik bukan jawaban kesejahteraan.

Ade Indriani Zuchri