Mie Celor: Akulturasi Budaya dan Perspektif Ekonomi Politik di Palembang

Oleh : Alexa Ade
Makanan tradisional sering kali merefleksikan perjalanan sejarah, interaksi antarbudaya, serta dinamika ekonomi politik suatu wilayah. Salah satu contoh menarik di Indonesia adalah mie celor, kuliner khas Palembang yang identik dengan kuah kental berbahan dasar santan dan kaldu udang. Keberadaan mie celor bukan sekadar soal gastronomi, tetapi juga mencerminkan proses akulturasi budaya sekaligus hubungan kompleks antara ekonomi, politik, dan identitas lokal.
Akulturasi dalam Sejarah Mie Celor
Mie celor lahir dari pertemuan berbagai tradisi kuliner. Unsur mie jelas memperlihatkan pengaruh Tiongkok, yang sudah hadir sejak era perdagangan Sriwijaya melalui jaringan Jalur Rempah. Sementara itu, penggunaan santan dan udang mencerminkan karakter kuliner Melayu-Palembang yang berbasis pada hasil laut dan rempah Nusantara. Proses penggabungan ini menghasilkan hidangan baru yang menjadi simbol akulturasi: sebuah kuliner yang lahir dari interaksi antara pendatang Tionghoa dan masyarakat lokal Palembang.
Mie celor kemudian tidak hanya menjadi makanan rumah tangga, melainkan juga komoditas yang diperjualbelikan di pasar tradisional maupun restoran, sehingga berkontribusi pada perekonomian kota. Hal ini menunjukkan bagaimana produk budaya dapat bertransformasi menjadi komoditas ekonomi dalam konteks urbanisasi dan modernisasi Palembang.
Mie Celor dalam Perspektif Ekonomi Politik
Dalam perspektif ekonomi politik klasik, seperti yang dijelaskan Karl Polanyi, makanan lokal bukanlah sekadar barang konsumsi, melainkan bagian dari “embedded economy” di mana aktivitas ekonomi melekat pada struktur sosial dan budaya masyarakat. Mie celor sebagai makanan khas Palembang memperlihatkan hal ini, tidak hanya bernilai ekonomis tetapi juga simbol identitas kota.
Sementara itu, pendekatan ekonomi politik kritis, sebagaimana dipengaruhi oleh pemikiran Antonio Gramsci, memperlihatkan bahwa makanan khas sering kali digunakan sebagai alat hegemoni budaya. Pemerintah daerah, misalnya, kerap mengangkat mie celor sebagai ikon kuliner dalam promosi pariwisata untuk menarik investasi dan wisatawan. Dengan cara ini, mie celor tidak hanya dikonsumsi secara harian, tetapi juga dijadikan instrumen politik identitas dan alat produksi kapital melalui pariwisata kuliner.
Di sisi lain, dari perspektif ekonomi politik lokal, muncul dinamika kelas dan distribusi keuntungan. Para pedagang kecil mie celor di pasar tradisional menghadapi tantangan kompetisi dari restoran modern dan industri kuliner skala besar yang memiliki modal dan akses jaringan distribusi lebih baik. Fenomena ini menunjukkan adanya ketimpangan struktural dalam pasar kuliner Palembang, di mana produk yang sama dapat dimanfaatkan secara berbeda oleh aktor ekonomi yang memiliki posisi tidak setara.
Dengan demikian, mie celor bukan sekadar kuliner khas, melainkan representasi dari akulturasi budaya dan dinamika ekonomi politik. Kehadirannya menunjukkan bagaimana identitas lokal dibentuk melalui pertemuan antarbudaya, sekaligus bagaimana makanan dapat menjadi arena kontestasi ekonomi dan politik. Dalam konteks Palembang, mie celor telah bertransformasi dari makanan rakyat menjadi simbol identitas dan alat politik-ekonomi dalam pembangunan pariwisata kota. (MY)