Panggung Rakyat Palembang: Suara yang Tak Pernah Padam

Oleh: Asmaran Dani (Sekretaris DPW SHI Sumsel)

Di bawah lengkung megah Jembatan Ampera Seberang Ulu Kota Palembang, di sana kerja keras rakyat menjadi simbol perjuangan. Buruh miskin kota yang dihisap majikan di toko-toko, para tukang becak yang dikalahkan teknologi, sopir angkot berteriak memanggil penumpang, pedagang pasar menata buah di trotoar, Driver Ojek Online (Ojol) setia menunggu orderan masuk, kuli pasar memanggul karung beras, tukang jahit menginjak pedal mesin bututnya. Semua itu adalah denyut sehari-hari, denyut yang sering tak dianggap penting dalam cerita resmi pembangunan Kota Palembang.

Tetapi di bawah Jembatan Amanat Perjuangan Rakyat, ruang biasa itu berubah menjadi bising. Rakyat berkumpul melakukan protes terhadap tekanan ekonomi-politik hari ini yang dilegitimasi kekerasan negara. Tikar digelar, pengeras suara dipasang, spanduk bekas sederhana dibentangkan untuk memuliakan buku-buku dari komunitas pelapak buku. Di tengah hiruk pikuk aktivitas pasar, berdiri sebuah panggung dari bekas kandang ayam. Di atasnya ada satu laptop lengkap dengan perlengkapan Disc Jokey (DJ) yang dimainkan oleh kawan pemusik Independen. Bukan panggung megah dengan lampu sorot, melainkan Panggung Rakyat, Dari sinilah suara rakyat jelata mengepung kota Palembang.

Sejak pukul dua siang, rakyat dari berbagai penjuru berdatangan. Ada mahasiswa dengan ransel lusuh, Driver Ojol, buruh miskin kota yang masih berkeringat, tukang becak yang berhenti sebentar untuk ikut mendengar, ibu-ibu pasar yang duduk di tikar sambil menggendong anaknya. Semua bercampur tanpa sekat. Tak ada kursi VIP, tak ada tamu kehormatan. Yang ada hanya rakyat saling berbicara tentang merebut nasib, menolak tunduk pada kekuasaan menindas.

Di panggung sederhana itu, seorang penyair rakyat mengambil peran. Pardesela. Dialah yang memandu jalannya acara sejak pukul 14.00 hingga 17.30. Suaranya bukan sekadar suara MC, melainkan suara penyair yang tahu bagaimana menjaga semangat massa. Kadang ia membuka dengan bait lirih yang membuat orang terdiam. Kadang ia berteriak lantang, membuat massa bertepuk tangan. Ia bukan penjaga jadwal, melainkan penjaga suasana. Dari awal hingga akhir, ia mengikat jalannya Panggung Rakyat dengan puisi dan orasi, dengan tawa dan amarah, dengan ritme yang membuat massa tetap menyala.

Acara bergulir dari orasi ke orasi dan diskusi terbuka. Semua mengalir tanpa garis pemisah siapa narasumber dan siapa peserta. Semua yang hadir adalah bagian dari rakyat, semua berhak bicara, semua berhak didengar.

Di sinilah tuntutan 17+8 rakyat dibacakan. 17+8 Tuntutan Rakyat 2025 lahir dari kesadaran bahwa Indonesia hari ini terjebak dalam cengkeraman oligarki, krisis iklim, dan perampasan ruang hidup. Rakyat menuntut agar seluruh kebijakan perampasan tanah, air, dan ruang kota segera dibatalkan. Agar sumber daya alam strategis dinasionalisasi di bawah kontrol rakyat pekerja. Serta menghentikan land grabbing yang dilakukan atas nama investasi maupun infrastruktur. Rakyat menegaskan pentingnya jaminan pekerjaan layak dengan upah adil, penghapusan sistem kontrak dan outsourcing, serta pelaksanaan reforma agraria sejati yang berpihak kepada petani kecil.

Dalam urusan pangan, kedaulatan mesti ditegakkan. Impor murah yang mematikan petani lokal harus dihentikan, utang luar negeri yang membelenggu kedaulatan ekonomi harus dibatalkan, dan produksi pangan mesti dikembalikan pada kepentingan rakyat. Pendidikan harus digratiskan hingga perguruan tinggi tanpa komersialisasi, layanan kesehatan harus universal tanpa diskriminasi, dan anggaran riset serta budaya perlu ditingkatkan dengan mengurangi belanja militer berlebihan. Kebebasan pers, kebebasan berpendapat, dan kebebasan berorganisasi wajib ditegakkan. Aparat keamanan harus direformasi total, militerisasi ruang sipil dihentikan, dan semua elite korup tanpa pandang bulu harus diadili. Di atas semua itu, keadilan gender serta perlindungan penuh terhadap kelompok minoritas harus diwujudkan sebagai fondasi masyarakat yang setara.

Dalam situasi darurat hari ini, rakyat mengajukan 8 tuntutan tambahan. Proyek IKN yang merusak hutan Kalimantan dan memindahkan krisis harus dihentikan. Seluruh aktivitas tambang batubara, sawit, dan nikel yang terbukti merusak lingkungan harus dimoratorium, sementara transisi energi terbarukan berbasis komunitas harus dipercepat. Transportasi publik gratis dan ramah lingkungan perlu diwujudkan sebagai hak dasar warga kota. Aparat yang melakukan kekerasan terhadap rakyat wajib diadili, dan intervensi politik oligarki dalam demokrasi elektoral harus segera dihentikan. Perjanjian dagang dan investasi internasional yang merugikan kedaulatan rakyat harus dibatalkan. Terakhir, sistem ekonomi berkeadilan ekologi mesti ditegakkan, bukan berdasarkan keuntungan segelintir elite, melainkan pada solidaritas dan produksi untuk kebutuhan hidup bersama.

Tuntutan itu bukan sekadar kata-kata. Ia melahirkan amarah sekaligus harapan. Driver Ojol menimpali dengan kisah pemasukan yang sehari hanya 20.000,- per hari. Pedagang pasar bicara tentang pungutan liar. Mahasiswa menyambung dengan kritik pendidikan mahal. Tukang becak menambahkan dengan cerita tentang sepinya penumpang karena kota makin dikuasai kendaraan pribadi. Pedagang meneriaki Pol-PP jangan main hakim menggusur aktivitas perdagangan rakyat. Aktivis perempuan berbicara keadilan ekologi dan mengutuk Money Politics setiap Pemilu. Aktivis Ormas mengabarkan bahwa negeri semakin dikuasai elit global. Semua suara menjadi satu koor yang menggema di bawah Ampera, menembus lalu lintas dan hiruk pikuk pasar.

Panggung Rakyat Palembang lahir dari inisiatif individu dan lintas komunitas. Seniman jalanan, mahasiswa, akademisi, buruh, pekerja lepas, komunitas literasi, BEM Kampus, NGO, dan Ormas, semua menyumbang tenaga dan ide. Tak ada sponsor, tak ada panggung resmi, tak ada figur tunggal yang dikultuskan. Justru di situlah kekuatannya. Panggung ini milik semua, bukan milik satu nama atau satu kelompok. Panggung rakyat menjelma jadi ruang di mana ilmu pengetahuan, seni, dan gerakan saling menguatkan.

Tetapi panggung ini tak lahir sendirian. Ia adalah lanjutan denyut yang sudah dimulai lebih dulu di Jakarta. Pada 1 September 2025, ratusan seniman, aktivis, dan intelektual berkumpul di Taman Ismail Marzuki dalam peristiwa #SeniLawanTirani #JagaJakarta. Dari sana lahir inspirasi. Bahwa koalisi masyarakat sipil bisa menjadi bahasa perlawanan. Menyatukan rakyat lintas disiplin. Jakarta menyalakan api, Palembang menyambung nyalanya.

Palembang punya sejarah panjang perlawanan rakyat. Dari masa Kesultanan yang menolak kolonialisme, hingga perlawanan buruh minyak dan pelabuhan di abad ke-20. Kota ini tahu arti penindasan, sekaligus tahu arti melawan. Karena itu, panggung rakyat di bawah Ampera bukan sekadar acara budaya. Ia adalah jawaban atas ketidakadilan yang terus menumpuk di kota ini. Kaum miskin kota yang melahirkan bayi-bayi miskin, kenaikan harga kebutuhan pokok, ruang publik yang diprivatisasi, hingga politik identitas yang menutup mata terhadap ketimpangan.

Melalui orasi jalanan lintas disiplin, panggung rakyat menjadi ruang belajar bersama. Bukan belajar teori di ruang kelas, tetapi belajar hidup dari pengalaman nyata. Dari jerit pedagang pasar, dari puisi penyair jalanan, dari analisis akademisi yang merakyat, dari orasi Driver Ojol yang sehari-hari bertarung dengan aplikasi. Tujuannya sederhana. Menghubungkan seni, ilmu, dan gerakan rakyat dalam forum kolektif terbuka. Menjadi ruang refleksi pasca aksi demonstrasi, sekaligus ruang konsolidasi budaya-politik berkelanjutan.

Sasaran dari panggung ini bukan kelompok tertentu. Ia terbuka untuk semua elemen sipil: pedagang, pelajar, mahasiswa, buruh, seniman, dosen, ibu rumah tangga, sopir angkot, BEM Kampus, NGO, dan Ormas. Karena hanya dengan begitu solidaritas lintas sektor bisa terbangun.

Dari sini lahir tindak lanjut. Risalah orasi jalanan sebagai dokumentasi, terbentuknya jaringan lintas disiplin, rencana aksi budaya, dan forum solidaritas. Dengan kata lain, panggung ini bukan sekali jadi, melainkan momentum peristiwa budaya untuk mengintervensi negara yang menindas.

Untuk memahami apa arti panggung ini, kita bisa melihatnya dengan konsep TAZ (Temporary Autonomous Zone) dari Hakim Bey. TAZ adalah zona otonomi sementara, ruang di mana rakyat bisa merasakan kebebasan sejati meski hanya sebentar. Bukan mimpi utopis tentang masa depan yang jauh, melainkan kebebasan yang dirayakan sekarang.

Di bawah Ampera, rakyat menciptakan TAZ mereka sendiri. Tak ada tiket masuk, tak ada polisi yang menentukan siapa boleh bicara. Tak ada modal (Kapitalisme) yang menentukan siapa berhak tampil. Hanya ada rakyat yang duduk bersama, bicara bersama, melawan bersama. Itulah TAZ. Ruang otonom sementara di mana dominasi negara dan kapitalisme digeser, meski hanya dalam hitungan jam.

Memang TAZ hanya sebentar, panggung bubar jam setengah enam sore. Tetapi energi yang lahir darinya tetap menyala. Energi itu menempel di tubuh rakyat, menjadi bahan bakar untuk perjuangan panjang. Seperti api kecil yang disambungkan dari satu tempat ke tempat lain, dari Jakarta ke Palembang, dari TIM ke Ampera, dan menyebarkan semangat perlawanan ke seluruh desa-kota lainnya.

Dari perspektif Marxis, panggung rakyat bisa dibaca sebagai perlawanan terhadap struktur dan superstruktur. Struktur ekonomi kota dikuasai modal besar. Properti, tambang, pembangunan mercusuar. Superstruktur ideologi dipenuhi propaganda pemerintah dan politik identitas. Tetapi panggung rakyat menciptakan superstruktur tandingan: orasi jalanan, puisi, musik DJ, menjadi senjata ideologi rakyat. Ia melawan hegemoni dengan menciptakan ruang ideologi alternatif.

Panggung rakyat adalah praktik politik. Ia adalah bentuk resistensi terhadap kapitalisme yang merampas ruang kota, sekaligus resistensi terhadap negara yang menyingkirkan rakyat. Ia adalah cara rakyat membangun kekuatan, bukan pada tokoh, tapi pada kolektivitas. Ia adalah bukti bahwa gerakan bisa kokoh karena berdiri di atas massa, bukan di atas nama.

Menjelang senja. Ketika lampu Ampera mulai menyala, aparat kepolisian berseragam bebas mulai melotot sibuk menanyakan siapa sponsor dan penanggungjawab Panggung Rakyat. Semua kompak menjawab: kami tidak tahu yang kami tahu ini adalah Panggung Rakyat! Rakyat yang hadir segera bubar bukan karena takut melainkan hari mulai gelap. Sebab besok semua sibuk bekerja demi bertahan di negara yang menindas. Panggung rakyat adalah bukti bahwa kebebasan tidak harus menunggu. Ia bisa dirayakan sekarang, di pasar, di jalanan, di bawah kolong jembatan.

Palembang malam itu bukan hanya kota di tepi Musi. Ia menjelma menjadi zona otonomi sementara, TAZ yang memberi semangat baru bagi rakyat. Dan semangat itu akan terus mencari ruang-ruang lain, menyalakan cahaya di tengah gelapnya tirani. Sampai berjumpa di Panggung Rakyat berikutnya.