Syarat Pendidikan Presiden: Mengapa Minimal Sarjana?

Jakarta – Perdebatan mengenai standar pendidikan calon Presiden Republik Indonesia kembali mencuat. Sebagai pemegang jabatan politik tertinggi, Presiden tidak hanya menjadi simbol negara, tetapi juga pengendali utama pemerintahan. Peran ganda sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan menuntut kapasitas intelektual, kemampuan manajerial, serta penguasaan teknokrasi politik yang jauh lebih kompleks dibandingkan jabatan publik lainnya.
Dari perspektif hukum tata negara, syarat calon Presiden merupakan bagian dari constitutional design atau desain konstitusional yang bertujuan memastikan pemimpin nasional memiliki kapasitas memadai. Pasal 6 UUD 1945 hanya menyebutkan syarat umum, seperti warga negara Indonesia sejak kelahiran dan tidak pernah mengkhianati negara. Namun, konstitusi memberi ruang untuk mempertegas standar melalui undang-undang tanpa bertentangan dengan aturan dasar. Artinya, menaikkan syarat pendidikan minimal sarjana sepenuhnya sah secara hukum.
Teori Elit Politik Pareto
Sosiolog Italia, Vilfredo Pareto, dalam teori elit politik menegaskan bahwa kualitas kepemimpinan suatu bangsa sangat dipengaruhi oleh kapasitas elite yang berkuasa. Apabila elite yang lahir dari proses politik tidak memiliki kemampuan memadai, maka arah kebijakan negara berisiko melemah dan menimbulkan kerugian bagi rakyat. Dengan menetapkan syarat pendidikan sarjana, negara berupaya menghadirkan pemimpin yang memiliki bekal akademik relevan dalam menghadapi kompleksitas tantangan nasional dan global.
Sejalan dengan Perkembangan Sosial
Dari perspektif sosiologi hukum, peningkatan syarat pendidikan juga selaras dengan dinamika masyarakat. Tingkat pendidikan rata-rata penduduk Indonesia kian meningkat, dan tuntutan publik terhadap kualitas kepemimpinan semakin besar. Jika untuk menjadi kepala desa atau anggota legislatif sudah ditetapkan kualifikasi tertentu, maka wajar apabila syarat untuk menjadi Presiden—jabatan dengan beban tanggung jawab jauh lebih luas—ditingkatkan menjadi minimal sarjana.
Lebih dari sekadar gelar, pendidikan sarjana menunjukkan keterampilan berpikir kritis, analitis, dan kemampuan mengembangkan kebijakan berbasis bukti (evidence-based policy). Hal ini penting dalam merespons isu-isu strategis, mulai dari krisis kesehatan, perubahan iklim, hingga transformasi digital. Tanpa kapasitas intelektual memadai, Presiden rentan mengambil keputusan populis yang tidak berkelanjutan.
Filter Normatif, Bukan Diskriminasi
Sebagian pihak menilai syarat sarjana bisa membatasi hak politik warga negara yang hanya menamatkan pendidikan SMA. Namun, argumen ini kurang tepat. Syarat pendidikan bukan diskriminasi, melainkan mekanisme filter normatif yang bertujuan menjaga kualitas kepemimpinan nasional. Sama halnya dengan syarat usia minimal 40 tahun, syarat pendidikan adalah bentuk seleksi hukum untuk memastikan pemimpin yang terpilih benar-benar siap mengemban amanah rakyat.
Meningkatkan Kualitas Demokrasi
Penetapan syarat pendidikan minimal sarjana bagi calon Presiden seharusnya dipandang sebagai langkah progresif dalam meningkatkan kualitas demokrasi Indonesia. Kebijakan ini merupakan investasi jangka panjang bagi kepemimpinan nasional yang lebih cerdas, visioner, dan berintegritas.
Dengan demikian, syarat sarjana bukan sekadar formalitas akademis, melainkan instrumen penting untuk memastikan bahwa Presiden—sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan—mampu membawa Indonesia menuju arah pembangunan yang berkelanjutan. (MY)