The Spring Will Over : Kutukan Sumber Daya Alam bagi Indonesia dan Azerbaijan (Catatan Menuju COP 29 di Azerbaijan)
The Spring Will Over : Kutukan Sumber Daya Alam bagi Indonesia dan Azerbaijan (Catatan Menuju COP 29 di Azerbaijan)
Oleh Ade Indriani Zuchri
Ketua Umum Sarekat Hijau Indonesia/ Co-Convenor Asia Pacific Green Women Network.
Pertanyaan pertama yang ada di kepala saya adalah, mengapa pelaksanaan COP 29 di adakan di Baku, Ibukota Azerbaijan, apa menariknya negara ini, sehingga menjadi tuan rumah pelaksanaan COP 29, tempat para pemangku kepentingan pada issu-issu besar perubahan iklim, ribuan profesi dan jaringan global berkumpul, untuk mendiskusikan langkah penting negara-negara maju dan berkembang melakukan upaya penting, menurunkan ambang batas perlakuan buruk pada kerusakan ekologi.
Ketika saya sedang menghubungkan banyak bacaan tentang sumber daya Azerbaijan, melihat kejayaan masa lalu Kekaisaran Persia, atau mencoba menyeruak dalam mitologi, dan sejarah tua tentang kebajikan Zoroaster yang menjaga Azerbaijan dengan api-api yang besar, sesuai dengan asal nama Azerbaijan, dari kata Azar” atau “Azer” berasal dari Parthian Aturpatakan, yang berarti sebagai “tempat di mana api suci dilindungi”, saya juga belum mampu mendapatkan jawaban dari pertanyaan saya tersebut.
Wilayah Laut Kaspia adalah salah satu yang terkaya di dunia dalam hal sumber daya alam. Ini telah berkontribusi secara signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi Azerbaijan, seperti negara berkembang lainnya, yang dianugerahi limpahan sumber daya alam, tetapi sebenarnya, limpahan sumber daya alam ini, telah membuka peluang praktek otoritarian dan kemiskinan bagi masyarakatnya, limpahan sumber daya alam yang awalnya merupakan karunia dari Sang Pencipta, berubah menjadi kutukan, ketika ketidak mampuan mengelola sumber daya alam tersebut, menjadi sumber pendapatan dan kesejahteraan ekonomi.
Hal menarik dari bacaan yang saya temukan, dan menjadi awal penghubung dari berbagai pertanyaan dikepala saya, ternyata Indonesia merupakan pengimpor minyak mentah, bahan kimia, produk makanan, logam besi, dan logam nonbesi dari Azerbaijan, dan juga pengekspor minyak sawit, kopi, kertas, tekstil, karet, dan kerajinan tangan ke Baku, bahwa Azerbaijan adalah negara kaya minyak bumi di wilayah Kaukasus Selatan yang menjadi salah satu pemasok utama minyak mentah untuk Indonesia selama 13 tahun terakhir. Indonesia yang merupakan negara yang memiliki kelimpahan sumber daya alam, salah satunya adalah minyak bumi, ternyata secara diam-diam telah mengimpor minyak dari Azerbaijan, dengan populasi penduduk hanya sepuluh juta orang, Azerbaijan merupakan mitra dagang terbesar kedua bagi Indonesia, setelah Rusia.
Eurika, saya mulai menemukan penghubung itu, cerita dibalik penyelenggaraan COP 29 di Azerbaijan, dan cerita ini nantinya, yang akan menjadi penghubung antara Indonesia dan Azerbaijan, dua negara yang tidak hanya dihubungkan dalam sejarah peradaban Islam, tetapi juga dihubungkan melalui cerita kutukan sumber daya alamnya,
Robert Auty, seorang Sosiolog, dalam teorinya Kutukan Sumber Daya Alam, menjelaskan Negara-negara yang berkelimpahan dengan sumber daya alam seperti minyak dan gas, performa pembangunan ekonomi dan tata kelola pemerintahannya (good governance) kerap lebih buruk dibandingkan negara-negara yang sumberdaya alamnya lebih kecil. Sebagai ironi, kebanyakan negara yang berkembang sebagai pengekspor sumber daya alam cenderung memiliki kualitas hidup yang rendah, dan satu lagi, fakta ini merujuk kebenaran, bahwa Ada penghubung antara Indonesia dan Azerbaijan, Azerbaijan yang dikarunia keberlimpahan sumber daya alam, terutama minyak bumi, tidak mampu menjadi negara makmur, yang mampu mensejahterakan masyarakatnya, bahkan Azerbaijan sendiri tidak tertarik untuk memperkuat sektor pertanian, sama seperti Indonesia, yang saat ini telah banyak kehilangan sumber pangan, akibat alih fungsi lahan menjadi perkebunan besar dan industri ekstraktif.
Indonesia saat ini juga sedang menghadapi situasi yang sama dengan Azerbaijan, keterlenaan akan keberlimpahan sumber daya alam, telah menjauhkan semangat juang dan kepercayaan pada sektor pertanian, perkebunan dan industri jasa layanan, akibatnya, Indonesia menikmati buah dari eksploitasi sumber daya alam tersebut, bencana alam, menghilangnya berbagai nilai-nilai kemulyaan pada alam, jauhnya akses pada air dan pangan, serta ancaman-ancaman pada kehidupan manusia lainnya. Pada sektor lain, seperti kohesi sosial dan demokrasi, telah menunjukkan penurunan derajat pada kualitas demokrasi, karena sumber daya alam, menjadi ladang rente para oligark, dan peluang korupsi secara besar-besaran, temuan berbagai kasus korupsi pada sektor sumber daya alam, telah memperjelas, bahwa buruknya penghormatan pada alam, dan melahirkan kelas menengah baru yang hidup secara hedon dari tata kelola sumber daya alam yang tidak pro rakyat.
Ancaman serius terhadap sumber daya alam, kuatnya kedudukan ekonomi politik para oligark dan pemburu rente, telah memvalidasi, akan ada potensi kehancuran pada dua negara tersebut, yaitu Azerbaijan dan Indonesia, sehingga cerita pilu tentang situasi ini, ingin diceritakan pada komunitas global, pada pelaksanaan COP 29 nanti.
The Spring Will Over, adalah situasi lingkungan yang menggambarkan Azerbaijan dan Indonesia, sebagai sebuah analog, spring digambarkan, sebagai transisi iklim yang mengharuskan semua orang harus meninggalkan kemewahan yang diciptakan oleh musim semi, cuaca yang lembab, angin yang mendera tubuh perlahan, dan bunga-bunga yang bersiap bermekaran. Apa yang digambarkan oleh Rachel Carson, dalam bukunya The Silent Spring, yang memicu banyak gerakan perubahan lingkungan, bahwa kondisi lingkungan yang buruk, akan menghasilkan ekosistem yang rentan pada ketahanan, antara lain, manusia yang sakit-sakitan akibat massifnya ekploitasi tambang, pabrik yang menghasilkan asap, limbah, pestisida dan sebagainya, serta berujung pada suplai makanan yang berkualitas buruk, karena bergantung pada pestisida dan pupuk kimiawi, karenanya, musim semi yang diam, adalah waktu baik memulai kegiatan ekploitasi pada alam oleh Oligark.
Sebuah kota yang hijau dan makmur tiba-tiba dilanda penyakit misterius. Burung-burung yang dulu berkicau riang, kini membisu. Mereka sekarat, gemetar, dan tidak bisa terbang. Ladang, hutan dan rawa mulai sepi dari nyanyian mereka.Ayam mengerami telurnya tapi tidak ada yang menetas. Bunga apel bermekaran namun tidak ada lebah yang menyerbuki. Sungai yang biasa didatangi pemancing tidak ada ikannya. Penyakit aneh menjangkiti, mulai dari orang dewasa sampai anak-anak. Orang-orang sakit lalu mati. Apa sebenarnya yang sedang terjadi? Hal inilah digambarkan oleh Rachel Carson, sebagai akibat dari buruknya cara pandang antroposenstris manusia terhadap alam, dan pada akhirnya, manusia akan menikmati alam secara egois, tanpa berfikir, ada kehidupan lain yang juga ebrgantung pada alam.
Indonesia dan Azerbaijan, adalah 2 negara yang berbeda benua, butuh ratusan ribu kilometer untuk saling mencapai, tetapi kerakusan, cara pandang pada alam, tata kelola yang tidak pro iklim dan rakyat, telah mendekatkan Azerbaijan dan Indonesia, sebagai negara yang telah terkena kutukan sumber daya alam.
Mari kita sambut, perayaan COP 29 ini, yang akan dilaksanakan di Baku, Azerbaijan, dari tanggal 11 sampai dengan 22 November 2024, utarakan apa yang menjadi kegelisahan dan kekhawatiran kita, terutama pada cara kita mengelola sumber daya alam, dan cara kita memuliakan alam kita..(MY)