Badan Usaha Milik Desa: Kelembagaan Ekonomi Kerakyatan Indonesia Masa Depan
*Oleh: Ade Indriani Zuchri
Badan Usaha Milik Desa dan Badan Usaha Milik Desa Bersama, acapkali difahami sebagai kelembagaan usaha desa yang didirikan berdasarkan amanat Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, dimana Desa harus memiliki kemandirian ekonomi yang akan menghasilkan kesejahteraan.
Makna penting tentang Bumdes dan Bumdesma adalah apa yang diceritakan oleh Bung Hatta, Wakil Presiden Republik Indonesia, sekaligus dikenal sebagai tokoh ekonomi dan koperasi, yang merupakan cikal bakal Koperasi/ Bumdes di Desa. Liberalisasi ekonomi Indonesia lah yang menjadi pintu masuk bagi Bung Hatta untuk mendeskripsikan satu kelembagaan ekonomi kolektif yang diharapkan dapat menjadi kiblat ekonomi Indonesia yang tidak patronistik, bercorak kerakyatan dan partisipatif.
Pada tahun 1966-an, bangsa Indonesia dihadapkan pada situasi kekacauan politik dan kemerosotan kehidupan ekonomi yang menimbulkan kesadaran untuk menertibkan diri dan membangun ekonomi,mengatasi stagnasi perkembangan bangsa. Xenophobia dimaknai sebagai tindakan bangsa Indonesia (pemerintah pada saat itu) yang menganggap segala bentuk /produk dari luar atau asing adalah hal yang harus dihindari, dengan kata lain, kecurigaan terhadap kebudayaan, situasi,pemikiran dan gaya hidup bangsa asing,adalah hal yang patut dicurigai oleh bangsa Indonesia.
Padahal, dalam kenyataannya, masyarakat berada dalam keadaan lemah,salah satu masalah terbesar yang dialami oleh bangsa Indonesia waktu itu adalah ketiadaan modal pembangunan, ditambah dengan teknologi yang minim dan sumber daya manusia yang rendah, sehingga sebesar apapun keinginan bangsa Indonesia untuk berdiri diatas kaki sendiri, maka situasi ini akan dilemahkan dengan fakta bahwa bangsa Indonesia membutuhkan pertolongan bangsa lain untuk membantu pembangunan infrastruktur dan stabilitas ekonomi. Oleh karenanya kebutuhan akan investasi besar-besaran sebagai way out atau strategi bangsa Indonesia keluar dari situasi ekonomi buruk ini adalah dengan membuka diri sepenuhnya terhadap modal asing atau investasi dan bersikap ramah dan baik dengan investor, dan sejak tahun 1967, pada saat diberlakukannya Undang-Undang Penanaman Asing, sejak itulah Indonesia menganut faham ekonomi liberal atau kapitalis, yang akhirnya melupakan (secara sadar dan tidak sadar) faham ekonomi kerakyatan berbasis gotong royong atau koperasi yang di perkenalkan oleh bung Hatta sebagai jalan keluar ekonomi Indonesia, dan praktik baik ekonomi yang akan membawa Indonesia kedalam suasana yang kolektif,persaudaraan dan kesejahteraan bersama. Ekonomi kapitalis adalah suatu sistem yang menyerahkan kebebasan kendali ekonominya pada pelaku atau pihak swasta untuk mengambil keuntungan. Pihak swasta yang dimaksud dalam hal ini adalah masyarakat, perusahaan ataupun perorangan, dengan menyerahkan kendali ekonomi pada pihak luar (baca asing), maka Indonesia telah melakukan persetujuan untuk tidak mengganggu pelaksanaan pengelolaan tersebut, bahkan keuntungan sekalipun, hal ini terlihat dalam suasana pasca pemberlakukan UU PMA, dimana pembukaan konsesi lahan dan hutan untuk pembangunan industrial yang mengubah wajah Indonesia yang sebelumnya dikenal sebagai negara agraris yang percaya pada kekuatan pangan sebagai modalitas sosial, akhirnya tunduk terhadap kepentingan modal yang percaya pada kekuatan industri besar.
Alih fungsi lahan besar-besaran yang akhirnya bukan saja telah mengubah corak ekonomi Indonesia, tetapi juga telah menyebabkan gegar budaya di berbagai wilayah desa di Indonesia, lahan pertanian yang selama ini menjadi penanda Indonesia sebagai negara agraris dan pada penandaan itu, telah kahir keluhuran, nilai-nilai lokal dan komitmen untuk menjaga desa mereka, telah mengubah masyarakatnya dalam sekejap menjadi matrealistik, saling curiga, berorientasi pada keuntungan atau profit dan menikmati sebagai bangsa yang “modern”,. Akibatnya, Indonesia perlahan mengalami banyak dampak dari keputusan mengambil corak ekonomi kapitalis atau neoliberalisme ekonomi, dimana terjadi degradasi sumber daya alam secara signifikan, perubahan kualitas lingkungan, dan persaingan ekonomi yang menyebabkan persaingan dan kompetisi antar individu meningkat.
Dari semua cerita diatas, desa adalah wilayah yang paling berat menanggung derita atas perubahan ini, padahal merujuk apa yang disampaikan oleh Ngasimin Djoyonegoro tentang terminologi desa , berasal dari bahasa urdu atau india, yaitu swadesi yang berarti tempat tinggal, negeri asal, atau tanah leluhur, dalam konteks perubahan ini, dimana kerusakan ekologi, deforestasi, pembukaan konsesi dan perkebunan besar untuk hutan tanaman industri dll, telah menjauhkan makna desa sebagai tempat tinggal yang memberikan kenyaman dan marwah.
Desa telah berubah makna terminologi dan filosophy nya menjadi makna yang umum, tempat tinggal yang nyaman telah beralih defenisi menjadi kota yang lebih memberikan segala-galanya, terutama dibidang ekonomi, desa telah digantikan oleh kota sebagai tempat tinggal yang lebih menyenangkan, lebih menarik dan lebih memiliki potensi ekonomi politik, sehingga kehilangan desa sebagai ruang hidup ,adalah sebuah perasaan yang tidak terlalu menganggu.Bahkan saat ini, di era 90 an dan 2000an, bahkan desa-desa menjadi ruang hampa yang tidak memberikan manfaat apapun dalam kacamata kaum muda.
Bertahun lamanya, kita mengalami situasi yang menyebabkan porak poranda desa, menghasilkan delusi yang pada akhirnya kita sendiri sulit untuk membedakan situasi ini benar atau salah, pembangunan yang menggerus banyak kearifan lokal, ruang hidup dan hilangnya ekosistem ekologi menjadi sumir ketika kita berapologi bahwa apa yang terjadi adalah konsekuensi pembangunan.
Filosophy tentang Badan Usaha Milik Desa haruslah kedepan tidak sekedar dianggap sebagai program ekonomi Kementerian Desa PDTT, tetapi adalah pilihan sadar Indonesia untuk meluruskan dan mengembalikan tata kelola dan pengelolaan sumber-sumber ekonomi desa yang selama ini dikelola oleh pihak-pihak luar yang membahayakan ruang ekonomi politik,sosial dan budaya desa yang berdampak tidak berkelanjutan, Badan Usaha Milik Desa adalah pilihan ekonomi kolektif yang pasrtisipatif yang role modelnya berbasis kearifan, nilai luhur yang ajeg yang telah hidup bertahun dalam kehidupan sosial ekonomi masyarakat Indonesia, pemahaman seperti ini haruslah menjadi transfer knowledge yang harus menjadi basis logika bagi pendamping desa di lapangan nanti, sehingga mereka tidak semata berorientasi sebagai operator-operator yang hanya bertugas melahirkan Bumdes/Bumdesa, tetapi yang paling subtansi adalah pendamping desa berkontribusi bagi kelahiran kelembagaan ekonomi kolektif yang di himpun,dikerjakan dan berlangsung untuk kepentingan seluruh masyarakat Indonesia untuk jangka waktu yang lama.
)* Penulis adalah Tenaga Ahli Kementerian Desa PDTT RI