BURUH: Gunawan Mohammad
BURUH
Di dusun Tiongkok itu, kapitalisme ditandai dua ekor babi yang akhirnya diledakkan.
Ini pertengahan 1960-an. RRT sedang bergerak — sesuai perintah Mao — untuk “memenggal buntut kapitalisme sampai ke desa-desa”. “Revolusi Kebudayaan” menyebar. Kader Partai dikirim ke pedalaman untuk menggerakkan petani.
Saya membaca tentang masa yang gemuruh itu dari kenangan Lian Heng, dalam sebuah buku yang terbit di tahun 1983, “Son of the Revolution” (terjemahan Indonesia: “Tragedi Anak Revolusi”).
Lian lahir pada 1954. Ketika umurnya sekitar 10 tahun, ia ikut ayahnya, seorang bekas wartawan yang dianggap punya cacat ideologis dan harus hidup di sebuah komune desa yang terkebelakang di wilayah Changling, di propinsi Hunan. Si-ayah tak mengeluh. Ia berbahagia diberi tugas menggerakkan petani agar berjuang memenggal “buntut kapitalisme”.
Tapi di desa yang melarat itu, bagaimana wujud “buntut” itu? Siapa “kapitalis” di antara petani itu, yang hidup bak kerakap tumbuh di batu, cemas kekurangan beras ketika harus menampung keluarga Lian? Apa jadinya andai di sana tak ditemukan kapitalisme? Padahal musti ada “perjuangan kelas”?
Syahdan, pada suatu hari, Lian-si-ayah mengantar Li, tokoh lokal Partai Komunis, pemimpin brigade komune, berkeliling desa. Di tengah jalan, tiba-tiba mereka lihat enam ekor anak itik berenang di saluran air.
Kamrad Li lega: anak-anak itik itu tanda adanya kapitalisme. Perjuangan kelas bisa diadakan di desa itu.
Malamnya penduduk dikumpulkan. Li berpidato. Ia menuding Gao Laoda, pemilik itik, sebagai kapitalis dan sebab itu berdosa. Dalam komune itu tak boleh ada milik pribadi — termasuk sedikit ternak. Gao harus meminta maaf kepada Ketua Mao (dengan bersujud di depan potretnya) dan setelah itu harus membunuh keenam itiknya.
Gao takut dan bersujud. Tapi tak cukup. Di malam berikutnya terdengar ledakan. Di kandangnya, dua ekor babi miliknya tewas berkeping-keping karena granat. Isteri Gao menangis, memeluk daging, tulang dan darah yang berserakan itu, miliknya yang terakhir…
Ketua Mao, apa yang dikehendakinya dari petani? Apa pandangannya tentang mereka? RRT sering diperkenalkan sebagai buah indah revolusi petani. Tapi ada yang luput rasanya.
Mao punya analisa yang rinci tentang petani Tiongkok. Dalam sebuah tulisan di tahun 1926 ia menyebut ada “tuan tanah”, “burjuasi sedang”, “burjuasi kecil”, “semi-proletariat”. Di antara mereka, terutama yang paling melarat, ada yang jadi bagian Revolusi meruntuhkan sisa-sisa “feodalisme”. Tapi mereka bukan andalan. Bagi Mao, kelas “yang paling progresif” adalah kaum “proletariat industri”, kaum buruh di sektor modern. Jumlah mereka tak banyak, tapi mereka — bukan petani, bukan burjuasi sedang dan kecil — yang jadi “kekuatan memimpin dalam gerakan revolusioner”. Petani harus ditinggal, atau diubah total.
Pada Mao tampak tersirat pandangan Marx dan Engels yang melihat dunia dari sejarah sosial Eropa. Sikap mereka mendua tentang petani. Menurut Engels, di satu sisi harus diakui peran revolusioner petani, misalnya dalam “Perang Tani” di Jerman di abad 16. Tapi di sisi lain, sejarah berkembang ke masyarakat industri, dan petani akan dilulur perbahan. Mereka jadi proletar. “He is hopelessly doomed, he is a future proletariat”, tulis Engels di tahun 1894.
Itu sebabnya Manifesto Komunis dengan berapi-api menggambarkan dinamika kelas borjuis mengubah kehidupan: kota-kota tumbuh dan masyarakat dilepaskan dari “kebodohan hidup pedalaman”, “der Idiotismus des Landlebens.”
Di situ tampak Marx orang kota 100%. Ia lahir di Trier, Jerman, dan wafat di London. Ia tak akan betah hidup di dunia agraris. Baginya kehidupan di udik itu ”berakar di tempatnya, dan hanya tumbuh ke dalam”. Maka ia menyambut masuknya kapitalisme Inggris ke India di abad ke-19 yang mendesak usaha tekstil di pedesaan dan membuat masyarakat berubah dinamis. “Apapun kejahatan yang dilakukan Inggris,” tulis Marx, “secara tak sadar ia jadi alat sejarah untuk mendatangkan revolusi.”
Dari sini kita tahu kenapa bagi kaum Marxis, dalam pelbagai variasinya, buruh — bukan petani — punya aura tersendiri. Ia sosok dunia modern. Yang lain tidak. Bahkan Bung Karno memandang kaum “marhaen” — “petit-bourgois,” tani pas-pasan, pedagang pasar, “kaum tukang kaleng”, “kaum nelayan” — tak pantas berperan besar dalam perjuangan.
Dalam tulisannya di tahun 1933, Bung Karno mengunggulkan kaum proletar. Itulah “yang saya sebutkan modern,“ katanya,
”inilah yang bernama rasional.” Sebab kaum proletar lebih “selaras dengan jaman”. Sebaliknya, kata Bung Karno, petani “umumnya masih hidup dengan …. angan-angan mistik yang melayang-layang di atas awang-awang”.
Tampak sikap Bung Karno juga ambivalen: ia tak meletakkan kaum marhaen di ujung tombak pembebasan. Sosok “marhaen”-nya memang pak tani miskin yang kebetulan dijumpainya di tepi jalan. Tapi seperti bagi Marx, Engels, Lenin, dan Mao, petani itu perlu ditransformasi.
Yang tak diduga, sampai di abad ke-21 kaum ini berlanjut. Mereka tak selamanya terdesak kapitalisme dan jadi proletariat. Mereka jadi “burjuis kecil”, bagian terbesar masyarakat yang tak pernah dianggap heroik, tapi penting — seperti mBok warteg di pojok itu, atau pemilik itik, babi, kambing…
Goenawan Mohamad