Catatan dari Dialog Publik Reforma Agraria untuk Kedaulatan Pertanian di Indonesia
Oleh: Ade Indriani Zuchri
Ketua Umum Sarekat Hijau Indonesia
5 juta rumah tangga petani di Indonesia terkonversi dari rumah tangga pertanian ke sektor industri dan sektor jasa lainnya, seperti menjadi buruh, BMI dan sektor informal, kepemilikan rumah tangga petani (gurem) 0,5 hektar, nawacita ke5 memastikan ketimpangan petani kecil dan sektor konsesi besar tidak mengalami ketimpangan, sehingga 9 juta HA harus dilakukan re diatribusikan, tetapi sampai akhir kepemimpinan jokowi 9 juta Ha tersebut belum dapat diwujudkan? Mengapa? Salah satunya skema perhutsos lebih dianggap berpeluang untuk diimplementasikan karena dianggap tidak menganggu berbagai kepentingan sektor konsesi, sehingga skema Reformasi Agraria ini diasumsikan sebagai sertifikasi lahan atau tanah, ini yang sekarang sedang diperjuangkan oleh elemen produktif RA di Indonesia.
Konsepsi dan nilai filosofi UUD 1945 pasal 33 haruslah menjadi nafas dan panduan untuk memastikan kedaulatan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia, rekonstruksi nilai ini adalah salah satunya penundaan RUU Pertanahan ditunda, dengan salah satu partai yang berkomitmen serius yaitu PKB yang secara aktif mendorong RUU pertanahan ditunda, betul ada bab agraria, tetapi bank Tanah untuk kepastian liberalisasi tanah di Indonesia terbuka, sehingga bagaimana mungkin kita akan mewujudkan kedaulatan dan kwaehjateaan (terutama pangan lokal bagi) rakyat Indonesia.
Selain itu UU sumber daya air dan privatisasi yang telah disahkan, harus kita berikan perhatian serius, agar hak2 masyarakat marginal dapat terlindungi dan menghapuskan segala bentuk atau skema liberasi fasilitas umum
Harus tetap optimis tentang RA, karena ini adalah janji yg harus di tepati oleh Pemerintah Jokowi dengan melanjutkan nawacita jilid 2, kepastian RA sebagai landasan pembangunan nasional untuk mencapai kedaulatan pangan haruslah dikawal dengan serius oleh seluruh elemen di negeri ini. (FS)