Dari Kolam Hingga Legislasi Hijau

Tidak semua pihak menyadari, bahwa dengan terjaganya kondisi ekologi suatu wilayah, akan berdampak positif bagi kehidupan sosial di wilayah tersebut. Bahkan pemerintah, tak berfikir ke arah itu, mereka  seringkali mengorbankan kelestarian ekologi  hanya demi meraih pertumbuhan ekonomi  dan meningkatkan Pendapatan Asli Daerah secara instan.

Hal demikian dialami warga Desa yang terletak di kaki Gunung Galunggung, tepatnya Desa Mandalagiri, Kecamatan Leuwi Sari, Kabupaten Tasik , Jawa Barat.  Awalnya mereka tidak menyadari, bahwa tambang pasir di Gunung Galunggung akan berdampak kepada kehidupannya. Karena, sebagian besar belum tahu, bahwa Galunggung merupakan salah satu sumber air terbesar yang mengairi lahan-lahan pertanian puluhan desa. Dan menyampikan pesan itu kepada masyarakat, tak semudah membalik tangan.

“ Kita berfikir keras supaya sumber air tetap terjaga dan masyarakat sadar atas hal itu”.

Demikian ungkap  Ketua DPK Sarekat Hijau Indonesia Tasik, Rinto.  Ia katakan, dimasa yang akan datang, tak hanya tambang, Rinto menduga, Galunggung juga terancam privatisasi dan eksploitasi lainnya, seperti privatisasi air dan ekowisata. Ia harus mengajak warga untuk mengantisipasi hal itu.

“ Sejak  lima tahun lalu  kita memulai cara dengan menggalakan pembuatan kolam lele”.

Menurutnya, belajar dari praktek rakyat, kolam adalah salah satu  media efektif untuk  meningkatkan kesadaran tentang  pentingnya menjaga sumber air. Selain kolam akan sangat bergantung kepada jumlah air yang melimpah, ikan yang dibudidayakan juga bergantung kepada kualitas air. Kerja keras itu berbuah, ketika PDAM setempat merebut sumber air untuk kepentingan bisnis, warga dari tiga kecamatan bersatu, berinisiatif melakukan penolakan kepada Bupati setempat.

Memotori Legislasi Hijau

Belajar dari pengalaman itu, bahwa kebijakan yang dikeluarkan penguasa, tidak melindungi  dan berpihak kepada rakyatnya, terutama bagi mereka yang telah sadar, yang mengelola sumber daya alam dengan tetap mempertahankan kelestarian ekologi. Karenanya, DPK SHI Tasik mengambil langkah untuk  mempelopori gerakan legislasi hijau, memastikan bahwa kebijakan yang dikeluarkan pemerintah, mampu melindungi asset-aset rakyat yang berkontribusi besar kepada terjaganya kondisi ekologi di Tasik.

Fajar, Biro Politik SHI Tasik menyebut, gerakan legislasi hijau ini sudah mendapat dukungan dari 10 anggota DPRD lintas fraksi dan lintas komisi. Harapannya, gerakan ini akan melahirkan kebijakan yang pro rakyat dan pro lingkungan hidup. Selain itu, gerakan ini bisa mencairkan blok politik partai yang terbelah antara Koalisi Merah Putih dan Koalisi Indonesia Hebat.

“Dengan membangun gerakan legislasi hijau, kita ingin eksekutif dan legislative di Tasik tidak terjebak dalam arus politik nasional. Di daerah mereka kita dorong untuk tetap fokus ngurus rakyat”.

Harapannya kedepan, gerakan ini tidak hanya diakomodasi oleh sepuluh anggota dewan, tapi pihak eksekutif juga bisa terlibat aktif mendorong gerakan ini. Karena rakyat tidak tahu menahu soal blok A berseteru dengan Blok B. Rakyat di daerah ingin agar pemerintah fokus mengurus Negara ini dengan bijak.

Sumber DPK SHI Tasik , 4 Mei 2015.