Exploitasi Sumber Daya Alam Desa dan Ketidak Adilan Perempuan
Exploitasi Sumber Daya Alam Desa dan Ketidak Adilan Perempuan
Ade Indriani Zuchri
“Dulu bukan saya sombong ya, cari rotan saya pernah, umur 12 tahun saya sudah cari rotan, hutan kan masih mewah, cari rotan 40kg untuk di rumah, beli beras apa, sekarang mana, hancur hati masyarakat desa dan perempuan, siksa saya sekarang, dulu apa saja mudah didapat di hutan desa kami, apa yang kami ambil dihutan, tiada ada yang marah pada kami, tiada ada yang pukul, sekarang sejak PT datang, rusak hutan kami, rusak desa kami, kami semua jadi susah,hidup miskin, tak bisa kirim anak sekolah lagi”
(Ibu Bintang-Kabupaten Bengkayang)
Dalam mitologi Yunani, Perempuan (Dewi) adalah pesuruh laki-laki (Dewa), sehingga Dewi tiada ada kemampuan untuk melakukan sesuatu tanpa seizin atau perintah Dewa. Dalam konsepsi masa depan, baik dalam norma, agama dan budaya, mitologi Yunani yang menempatkan perempuan ini, baik secara peran maupun gendernya, tidak jauh berbeda, perempuan dianggap sebagai anatomi reproduksi yang wajib menjalankan fungsi reproduksi mereka sebagai upaya untuk memperkuat peran domestik mereka, sehingga dalam berbagai struktur, sistem dan kebijakan, perempuan dianggap sebagai posisi yang dapat di”abaikan” dengan peran dan kebijakan lainnya, belum lagi tentang stigma dan paradigma yang telah berkembang akut dalam budaya dan sosial kita telah memperkuat peran perempuan adalah peran yang tidak penting.
Melalui UU No 1 tahun 1967, tentang Penanaman Modal Asing (PMA), membatalkan UU No 86 tahun 1958, mengenai nasionalisasi perusahaan asing,termasuk perusahaan tambang, telah membukakan pintu yang lebar kepada swasta asing dan swasta lokal, untuk menguras dan mengakumulasi kekayaan mereka untuk kepentingan kelompok korporasi mereka, dan seluruh kekayaan alam itu berada di desa, tempat yang selama ini diyakini sebagai wilayah penyimpan harta karun sebuah negara, Indonesia sebelumnya dianggap sebagai komunitas yang tidak berkembang, yang jauh dari kata sejahtera, telah memacu adrenalin rezim Soeharto untuk membuka investasi seluas-luasnya bagi negara lain dan kelompok untuk memulai aktivitas eksploitasi mereka, cerita indah sebelumnya tentang sebuah negeri yang gemah ripa rohjinawi, dimana apa saja yang dilempar ketanah akan tumbuh subur, masyarakatnya suka bergotong royong dan hidup dengan bahagia, hancur seketika ketika eksacavator datang ke desa, lengkap dengan serombongan petugas berseragam yang bersiaga bila masyarakat menghalangi mereka untuk membuka lahan secara besar-besaran.
Terbukanya ruang investasi di Desa secara besar-besaran, telah ikut membuka peluang distribusi ketidak adilan terhadap sumber daya alam dan masyarakat desa juga terbuka. Sementara hal ini bertentangan dengan salah satu program besar Pemerintah Soekarno dan diteruskan oleh Pemerintah Soeharto, menyakini penyebaran penduduk ke seluruh Desa di Indonesia adalah salah satu indikator kesejahteraan penduduk Indonesia, tingkat ekonomi yang rendah di beberapa Desa dan kota di Indonesia telah menghantarkan program Transmigrasi menjadi salah satu jawaban terdistribusinya ruang kelola bagi masyarakat, sehingga pada tahun 1958-1959 dimulailah tahap pertama pengiriman para transmigran yang pada saat itu berasal dari Jawa dan sekitarnya ke seluruh wilayah Timur, Pulau Sumatra dan Kalimantan.
Program transmigrasi di Indonesia telah lama dikenal dan dilaksanakan semenjak jaman pemeritah Kolonial Belanda. Pada awal abad ke – 20, telah dilaksanakan program transmigrasi yang saat itu dikenal dengan nama Kolonisasi atau pembukaan daerah koloni baru. Ide awal program kolonisasi adalah untuk mengurangi tekanan jumlah penduduk yang ada di Pulau Jawa serta membangun suatu koloni dengan membangun suatu koloni dengan mendatangkan orang dari pulau Jawa ke pulau lain. Kolonisasi begitu pentingnya semenjak diperkenalkannya politik etis di Indonesia. Tempat pertama yang dijadikan daerah pemukiman adalah sebelah selatan pulau Sumatera tepatnya di Lampung pada tahun 1905.
Pada awalnya semua bentuk program yang dilakukan oleh Pemerintah berjalan dengan baik, desa-desa di Indonesia tumbuh sesuai dengan potensial ekonomi, sosial, budaya dan politik mereka, desa tumbuh dengan akulturasi budaya dan ragam interaksi sosial, tiada ada kesulitan dan masalah, rasanya, kepindahan atau pengurangan penduduk dari provinsi padat ke provinsi yang masih kurang penduduknya adalah jalan keluar yang sangat baik, yang telah dilakukan oleh pemerintah, kesejahteraan perlahan timbul, geliat ekonomi, masyarakat pendatang maupun penduduk asli berkolaborasi melakukan pengelolaan ruang ekonomi dengan baik, arif dan berbasis pengetahuan lokal, sekilas, dalam pandangan ekonomi kapitalis, situasi ekonomi lambat yang dijalankan oleh masyarakat pendatang dan lokal tidak menunjukkan booming dan percepatan ekonomi, masyarakat dianggap tidak mengejar pertumbuhan ekonomi, surplus ekonomi seolah berjalan tertatih-tatih, padahal ketika itu, secara pangan, kita merdeka, berdaulat dan tidak bergantung dengan pangan import, kejayaan dan martabat kita sepenuhnya indah, dengan kepalan tangan dan kepala yang tengadah kelangit, kita merdeka semerdekanya burung yang terbang tanpa takut ada pemburu yang menembak.
Dan penderitaan ini dimulai sudah, sejak dikeluarkannya Undang-undang Kehutanan tahun 1967 dan pemberian konsesi hutan (HPH) 20 tahun kepada perusahaan-perusahaan penebangan kayu. Pada tahun 1969-1974, hampir 11 juta hektar konsesi HPH diberikan hanya di provinsi Kalimantan Tengah saja. Pembukaan hutan untuk daerah transmigrasi, industri ekstraktif, pertanian dan, di daerah pesisir pantai, budi daya perairan, juga berdampak sangat buruk pada hutan dan kehidupan masyarakat desa. Kemudian muncullah kelapa sawit. Perkiraan hutan yang dibuka untuk perkebunan kelapa sawit bervariasi tapi tak diragukan bahwa tanaman ini, bersama dengan kayu pulp, bertanggung jawab atas sejumlah besar deforestasi selama dua abad terakhir. Sementara perkebunan kelapa sawit semakin bertambah luas, dari sekitar 3 juta hektar pada pergantian abad ini hingga seluas hari ini (lebih dari 8 juta hektar), perusahaan-perusahaan membuka lebih banyak hutan dan merebut lahan milik masyarakat adat dan masyarakat lokal.
Manusia di dalam kehidupannya sangat mengandalkan air, lahan, energi, keanekaragaman hayati dan ekosistem yang sehat untuk menjamin kelangsungan penghidupan mereka dan asset alam sangat penting untuk keluar dari kondisi pemiskinan. Salah satu kelompok penerima dampak terbesar adalah perempuan, ketiadaan pengaturan yang adil (secara sosial dan lingkungan) yang dikelarkan oleh pemerintah menyebabkan adanya perpindahan penguasaan atas sumber daya alam (SDA) dari tangan rakyat,perempuan dan laki-laki kepada pihak lain, pelaku bisnis dan pemerintah. Kondisi seperti ini kemudian menyingkirkan sebagian besar rakyat dari sumber-sumber penghidupannya.
Sementara di desa, perempuan menghadapi tekanan ganda dalam reaksi persoalan di atas. Pertama, menghadapi tekanan dari pihak luar yang sebagian besar telah mengambil alih Sumbe Alam Desa yang merupakan sistem penghidupan mereka. Kedua, dalam budaya kehidupan komunitas yang patriarki, perempuan juga dihadapkan dengan ketidakadilan internal yang sudah tercipta sebelum para pihak luar (privat dan pemerintah) datang menguasai Sumber Daya Alam mereka.
Situasi yang tidak adil ini direspon oleh kaum perempuan dengan bekerja dan bekerja. Ada tidak adanya uang, perempuan harus memastikan keberlangsungan pangan keluarga. Situasi ini membuat sebagian besar perempuan yang hidup di dalam dan sekitar Sumber Daya A lam tidak memikirkan kondisi kesehatan mereka sendiri. Sementara itu generasi muda perempuan melakukan hal yang sama seperti para laki-laki. Mereka bekerja sebagai buruh pabrik, pekerja rumah tangga di kota-kota atau menjadi buruh migran ke luar negeri. Namun, upaya yang dilakukan kaum perempuan belum dinilai sebagai bagian dari konstribusi yang strategis untuk dihargai dalam banyak aspek, seperti aspek kebijakan dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam di Indonesia. Perempuan masih dianggap kurang atau bahkan tidak berkonstribusi dalam proses pembangunan. Pekerjaan domestik perempuan tidak pernah dianggap sebagai jasa yang bernilai. Keadaan ini berjalan tanpa protes karena dianggap sebagai kewajiban, bahkan sebagai kodrat, secara sadar atu tidak,perempuan yang bekerja mengurus keluarga dilihat sebagai orang yang tidak bekerja dan dilegalisasikan dalam kelompok bukan angkatan kerja.. Padahal dibelahan dunia manapun, perempuan memainkan peran lebih banyak dari laki-laki, mengelola lahan pertanian, tanaman,binatang, mengelola air dan ditambah dengan distribusi serta pemasaran produk pertanian yang mereka hasilkan, pekerjaan mengelola sumber daya alam tersebut mereka lakukan dengan beban yang sangat besar, tenaga yang terkuras serta kemampuan skill yang besar, walau beberapa diantaranya diimbangi dengan kecerdasan ilmu pengetahuan yang memadai, sampai akhirnya masuk perusahaan besar perkebunan,pertanian, industri kayu dan sebagainya yang menzonasi,mengambil paksa wilayah kerja mereka selama ini, akibatnya perempuan penjaga sumber daya alam desa menjadi hancur, bukan saja wilayah kelola ekonomi dan sosial mereka, tubuh dan jiwa mereka pun hancur berkeping keping karena kepedihan tiada tara menanggung amarah dan penghinaan atas kehilangan harga diri mereka serta cnta mereka pada tanah yang mereka rawat dan diami selama ini, tanah yang menjadi penyambung hidup keluarga,memberi marwah dan martabat bagi keluarga mereka, dan memberi ikatan emosional bernama cinta karena di tanah tersebut cinta keluarga mereka telah ditambatkan, erat dan tak bertepi.
Paradigma pembangunan yang berorientasi pada investasi, yang merupakan bentukan dari negara-negara industri, telah memaksa pembangunan di Indonesia bertumpu pada pertumbuhan ekonomi yang mengarah pada ketersediaan modal,infrastruktur,pendidikan dll. Ketersediaan modal ditumpukan pada utang dari IMF/WB/ADB, donor bilateral dan multilateral yang sebagian besar didominasi oleh negara-negara industri/maju. Tidak hanya permasalahan modal,pertumbuhan ekonomi juga telah mendorong investasi asing pada sektor manufaktur dan eksploitasi sumber daya alam. Bahkan saat ini juga mulai marak perusahaan-perusahaan dalam negeri, yang turut didukung oleh lembaga keuangan internasional (IFI;s) dengan skema pemberian hutang dan bantuan teknis lainnya, lima tahun terakhir, banyak sektor air,kesehatan,kesehatan,pendidikan,komunikasi dan sektor energi telah mulai diarahkan utnuk dilakukan privatisasi, dimana privatisasi akan berdampak serius pada kehidupan masyarakat di Indonesia, khususnya masyarakat miskin, model pembangunan yang tidak melihat aspek keberlanjutan sumberdaya alam dan lingkungan tersebut,membuat situasi di indonesia semakin kritis. Walaupun Indonesia sangat terkenal dengan kekayaan alamnya, tetapi,tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan masyarakatnya,justru sebaliknya,masyarakat masih hidup dibawah garis kemiskinan dengan semakin sulitnya mengkases kekayaan alam yang dimiliki sebagai sumber kehidupannya. Pola pembangunan yang bertumpu pada investasi asing, semakin mempersempit peran dan terus melemahkan serta meminggirkan hak masyarakat dan masyarakat adat,khususnya perempuan.
Dengan dalih untuk kesejahteraan masyarakat serta menambah pendapatan daerah,pemerintah daerah sering mengeluarkan izin kuasa pertambangan,pengelolaan kawasan hutan,dan sebagainya, tanpa melihat kelengkapan dokumen maupun analisis terhadap dampak lingkungan hidup,bahkan tidak sedikit yang kemudian tidak ada izin usaha pertambahan ataupun pengelolaan akan sektor sumberdaya alam.
Kebijakan-kebijakan terkait lingkungan dan sumberdaya alam, seperti UU No.4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu bara, UU No. 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas, UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, UU No. 18 tahun 2004 tentang Perkebunan, dan kebijakan lainnya, dinilai masih belum memberikan perlindungan dan kesempatan bagi masyarakat untuk dapat mengelola sumberdaya alamnya secara berdaulat. Kebijakan sumberdaya alam, masih bertumpu pada kekuatan modal dan perusahaan-perusahaan baik nasional maupun internasional, dalam pengelolaannya, belum berbasis pada rakyat, serta didukung dengan lembaga keuangan internasional. Jelas terlihat bahwa kebijakan pengelolaan sumberdaya alam sampai saat ini, masih berpihak pada pemodal, bahkan memberikan peluang bagi perusahaan untuk mengkriminalisasikan masyarakat. Di mana pada beberapa undang-undang terkait lingkungan dan sumberdaya alam termuat pasal yang menyebutkan siapa saja yang melakukan aktivitas yang dapat mengganggu kegiatan pertambangan, maka akan dikenakan sanksi pidana atau denda. Pasal tersebut kemudian, dijadikan senjata oleh perusahaan untuk mengkriminalkan masyarakat yang sedang memperjuangkan lingkungan dan sumberdaya alam mereka.
Eksploitasi sumber daya alam dan penggusuran atas nama pembangunan, semakin memarjinalkan akses dan kontrol perempuan atas pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan serta menafikkan peran perempuan sebagai pengelola alam. Konstruksi jender yang masih menempatkan perempuan sebagai pemelihara keluarga dan rumah tangga, membuat perempuan harus berpikir lebih dalam menyediakan makanan, air bersih, dan kebutuhan rumah tangga lainnya, hingga dalam hal pendidikan anak-anaknya. Di kala perekonomian semakin sulit, perempuan harus bekerja lebih, baik dalam kerja-kerja domestik maupun dalam bekerja untuk mencari penghasilan demi memenuhi kebutuhan keluarga. Hilangnya akses dan kontrol terhadap sumber kehidupan dan penghidupan, yang semakin memiskinkan masyarakat, akan berdampak lebih pada perempuan, dan meningkatkan kekerasan terhadap perempuan, baik dalam ranah rumah tangga maupun publik.
Situasi tersebut mendorong perempuan perlu berbicara mengenai lingkungan dan sumber daya alam, karena industrialisasi atau pembangunan telah4, pertama, Memberikan dampak yang luar biasa terhadap seluruh aspek lingkungan (tanah, air, mineral, organisme kehidupan, atmosfer, iklim, dan seluruh proses kehidupan perempuan. Kedua, memunculkan relasi yang kuat antara pemiskinan dan degradasi lingkungan, bahkan degradasi lingkungan dengan kekerasan. Ketiga, memunculkan adanya penyimpangan pembangunan yang berbasis pada pandangan dan pendekatan pembangunan yang patriarki (patriarchal maldevelopment), sehingga memunculkan relasi yang kuat antara kemiskinan dan degradasi lingkungan. Pembangunan yang partiarkhi dapat dicirikan dengan: (a) Marginalisasi fungsi alam/ekosistem bagi kehidupan bersama, (b) Penggunaan ilmu pengetahuan, teknologi dan sistem kehidupan yang ekslusif, (c) Penghancuran kearifan tradisi/budaya Perempuan dalam PLSDA, (d) Penggunaan kekuasaan yang berbasis pada kekerasan, (e) Kepentingan kehidupan perempuan banyak dikorbankan, (f) Eksploitasi sumber-sumber ekonomi/kehidupan perempuan.
Perempuan telah mengalami dampak terberat akibat perampasan sumber daya alam yang dilakukan oleh Industri ekstraktif di desa, perlawanan massif yang dilakukan oleh masyarakat desa berdampak terhadap isolisasi akses masyarakat pada ruang publik desa, akibatnya masyarakt tidak memiliki posisi tawar dengan perusahaan karena akan mengakibatkan banyak dampak terutama pada anak-anak mereka.
Kalau ada pilihan lain hidup pada ruang yang penindasan, kami akan pergi kesana dan bermukim disana, sayang ruang yang bebas penindasan itu hanya ada dalam mimpi. (AIZ)
..