Green Ramadhan: Memaknai Pesan Eko-Religius Ritual Puasa

Oleh: Engki Fatiawan*

Shi.or.id, Bulan ramadan ialah bulan yang paling ditunggu-tungu oleh umat muslim di seluruh dunia. Bulan ini menjadi bulan yang banyak mengajarkan pemaknaan terhadap ibadah karena banyak ritus keagamaan yang dilakukan. Banyak tantangan dan pantangan yang harus dijalankan walaupun di bulan-bulan lain tidak menjadi masalah untuk dilakukan. Namun, pada bulan ramadan harus ditinggalkan demi sahnya suatu puasa.

Puasa sederhananya adalah menahan diri untuk tidak makan, minum, dan segala hal yang membatalkan puasa dari terbit fajar hingga matahari terbenam. Puasa di bulan ramadan menjadi perintah yang wajib dilakukan bagi umat muslim yang beriman. Karena sebuah kewajiban maka tidak ada alasan untuk tidak melaksanakan ibadah ini kecuali orang-orang yang memang tidak memenuhi syarat dan ada halangan lain sehingga tidak bisa melaksanakan puasa.

Pemaknaan terhadap puasa semestinya bukan hanya sekedar pemaknaan hubungan manusia dengan Tuhannya akan tetapi juga perlu ada pemaknaan terhadap sosio-religius dan eko-religius. Puasa juga perlu dimaknai sebagai ibadah yang memiliki efek kemanusiaan. Dengan berpuasa kepekaan terhadap masalah sosial semakin meningkat sehingga mampu mengambil peran penting di tengah-tengah masyarakat dalam membantu menyelesaikan permasalahan sosial yang terjadi.

Momentum ramadan pada dasarnya dapat menjadi momentum untuk mengasah empati sosio-religius tersebut. Tiap malam di mimbar-mimbar masjid ceramah dari para Dai tidak luput memberikan narasi mengenai hubungan manusia dengan Tuhan serta hubungan sesama makhluk ciptaanNya. Narasi-narasi tersebut mampu menjadi pengingat untuk tetap berada pada tuntunan agama.

Sementara itu, narasi terhadap masalah ekologis sangat jarang disampaikan di mimbar-mimbar masjid. Padahal permasalahan lingkungan tidak kalah pentingnya dengan permasalahan ritus keagamaan dan sosial. Hasil survei dari CSIS memperlihatkan bahwa hanya ada 0,2% masyarakat Indonesia yang tertarik dengan isu lingkungan. Hal ini mengindikasikan bahwa masyarakat buta terhadap narasi lingkungan dan masalah-masalah yang mengikutinya.

Saat ini perbincangan mengenai lingkungan sangat menarik dibahas dalam lingkup lokal hingga global. Akan tetapi, isu tersebut hanya banyak dibahas oleh kalangan akademisi dan kalangan elite. Narasinya belum sampai ke masyarakat secara luas. Padahal efek domino dari masalah lingkungan juga akan memunculkan masalah-masalah sosial berikut juga pada permasalahan teologis yang dapat menurunkan kadar kepercayaan dan keimanan.

Terjadinya degradasi lingkungan akan memunculkan masalah. Lahan sebagai media dalam produksi pangan dan juga kebutuhan ruang hidup apabila terdegradasi akan memunculkan masalah sosial. Konflik agraria tidak dapat terhindarkan karena semakin banyaknya kebutuhan terhadap ruang. Konflik pangan juga akan muncul karena semakin tingginya harga karena produksinya semakin berkurang.

Tentunya masalah-masalah tersebut di atas perlu untuk diantisipasi demi keberlanjutan lingkungan. Ramadan kali ini kita perlu belajar mengenai pemaknaan pesan-pesan eko-religius dari ibadah puasa. Green Ramadan sebagai kampanye bulan ramadan yang ramah terhadap lingkungan harus bisa tersampaikan ke masyarakat. Sehingga narasi permasalahan lingkungan yang terjadi saat ini dapat diketahui oleh masyarakat luas.

Oleh karena itu, ayat-ayat yang berkaitan dengan lingkungan jangan hanya lebih banyak dimaknai sebagai hubungan teologis. Namun juga perlu disampaikan secara saintifik di masyarakat dengan data-data yang lebih aktual. Bulan ramadan ini sangat cocok untuk menyampaikan narasi eko-religius melalui mimbar-mimbar masjid.

Puasa juga memiliki pesan eko-religius yang mengajarkan mengenai narasi untuk tidak melakukan pencemeran dan pengrusakan lingkungan. Banyak ahli agama menyerukan tentang pentingnya menjaga lingkungan sehingga menghadirkan fiqih lingkungan hidup. Agama pada dasarnya juga mengajarkan kita untuk menjaga bumi dan segala isinya.

Puasa dimaknai “menahan diri”, dari segi ekologi pesan puasa harus mengajarkan kepada kita untuk menahan diri dalam melakukan eksploitasi terhadap lingkungan. Bentuk eksploitasi yang paling banyak terjadi di masyarakat yaitu memberikan sumbangan karbon ke udara dan juga sumbangan sampah plastik. Banyaknya karbon yang terlepas ke udara akan menyebabkan meningkatnya suhu permukaan bumi yang akan berdampak terhadap perubahan iklim.

Selain itu, eksploitasi terhadap lahan dengan pembukaan lahan yang secara massive untuk industri pertambangan dan perkebunan monokultur tanpa memperhatikan kaidah konservasi lingkungan (tanah dan air) akan mengakibatkan adanya bencana hidrometeorologis berupa banjir, longsor, dan kekeringan. Hal ini akan merugikan manusia. Olehnya itu, kita semua perlu belajar puasa ekologis untuk menahan  diri untuk tidak mengeksploitasi lingkungan.

Narasi puasa ekologis penting untuk disampaikan ke masyarakat luas. Dan momentum bulan ramadan ini dengan kampanye green ramadan sudah seharusnya ceramah-ceramah di bulan ramadan harus juga memasukkan narasi eko-religius atau puasa ekologis.  Hal ini dimaksudkan untuk menyadarkan masyarakat bahwa permasalahan lingkungan bukanlah masalah kecil melainkan masalah besar yang kita semua memiliki peran untuk menanggulanginya.

Peran masyarakat sangat dibutuhkan dalam membantu menanggulangi permasalahan lingkungan. Munculnya kesadaran ekologis di tengah masyarakat adalah langkah yang tepat karena tanpa adanya kesadaran bersama kampanye ekologis hanyalah seremonial belaka yang tidak memiliki efek. Semua stake holder baik pemerintah, swasta, akademisi, NGO, dan masyarakat harus bekerja sama dengan baik dan bekerja sesuai dengan perannya masing-masing dalam pengelolaan lingkungan. Begitupun dengan lembaga terkait agar tidak ada tumpang tindih kewenangan yang akan menghambat jalannya kebijakan terhadap lingkungan.

)* Penulis adalah Ketua Korkom IMM Unhas dan Kader SHI Sulsel