Habitus Masyarakat dan Kebijakan Multi Pihak Pemerintah Dalam Penanganan Banjir

Oleh : Engki Fatiawan
(Anggota SHI Sulsel & Alumni Ilmu Tanah Unhas)
Awal tahun 2025 sudah tercatat 26 kali kejadian banjir di Sulawesi Selatan yang tersebar di berbagai daerah. Data yang dihimpun dari website Provinsi Sulawesi Selatan memperlihatkan sebaran kejadian banjir ada di Kab. Bulukumba, Kab. Luwu utara, Kab. Luwu, Kab. Luwu Timur, Kab. Sinjai, Kab. Barru, Kab. Pangkep, Kab. Wajo, Kab. Gowa, Kab. Maros, Kab. Takalar, dan Kota Makassar. Kejadian banjir dari berbagai daerah itu terjadi dari bulan Januari hingga pada awal bulan februari ini.
Banjir menjadi bencana tahunan yang kerap melanda daerah tersebut akhir-akhir ini. Biasanya dalam satu tahun banjir bisa melanda lebih dari satu kali. Di Kota Makassar saja banjir sudah dua kali terjadi selama periode Januari hingga Februari tahun 2025.
Berdasarkan dari berbagai literatur banjir sebagai salah satu bencana hidrometeorologi selain disebabkan oleh faktor iklim seperti kuantitas curah hujan yang tinggi juga disebabkan oleh faktor fisik daerah tangkapan air hujan. Daerah tangkapan air hujan atau daerah aliran sungai (DAS) sebagai daerah yang berfungsi untuk menangkap, menampung, dan mengalirkan air hujan ke laut kerap terganggu dalam menjalankan fungsinya. Jika suatu DAS mengalami gangguan fungsi maka akan muncul dampak terhadap tata air baik itu banjir, kekeringan, erosi, dan sedimentasi.
Fungsi DAS terganggu biasanya disebabkan oleh faktor alam dan faktor intervensi manusia. Namun, yang paling berpengaruh terhadap kerusakan DAS yaitu adanya intervensi manusia yang mengubah lanskap permukaan DAS. Intervensi berupa pengurangan luas areal hutan yang diubah menjadi lahan terbangun maupun lahan budidaya. Jika hal itu terjadi, maka akan mengubah sistem hidrologi pada suatu DAS.
Pada dasarnya luas areal hutan dalam suatu DAS atau pulau harus mencapai 30 persen dari total luas DAS atau Pulau. Jika hal itu tidak terpenuhi maka akan berimbas pada tata airnya. Bahkan bisa saja lebih dari 30 persen luasnya, tetapi masih bisa terjadi banjir dalam skala yang lebih kecil karena buruknya drainase pada daerah tersebut. Hal itu biasanya terjadi pada area pemukiman yang padat penduduk dan perumahan yang tidak memperhatikan kemungkinan banjir.
Kerusakan fisik lingkungan DAS pada dasarnya disebabkan oleh habitus masyarakat yang tidak memperhatikan dampak lingkungan. Masyarakat cenderung mengesampingkan permasalahan lingkungan. Mungkinkah karena masih kurangnya pemahaman terkait ekologi atau tidak ada pilihan lain dalam pembangunan.
Selain habitus masyarakat, pemerintahlah yang kerap memiliki habitus yang menyebabkan kerusakan lingkungan termasuk pemberian izin pada kawasan hutan. Izin bisa berupa IUP dan HGU perkebunan. Dalam hal ini, hasrat terhadap kebutuhan materi menjadi pendorong untuk melakukan hal tersebut.
Dalam negara yang sedang berkembang, pembangunan memang tidak bisa dihindarkan. Negara harus mengejar ketertinggalannya dengan negara maju baik dari infrastruktur, ekonomi, dan sumber daya manusia. Akan tetapi, dalam proses pembangunan itu harus juga memperhatikan aspek lingkungan sehingga tercapai lingkungan yang berkelanjutan yang akan dirasakan oleh generasi selanjutnya.
Lingkungan yang berkelanjutan termasuk lingkungan yang bebas dari bencana banjir menjadi cita-cita sehingga masyarakat dapat terhindar dari bencana tersebut. Oleh karena itu, perlu adanya multi pihak dalam pencegahan kerusakan lingkungan yang berdampak pada bencana banjir baik masyarakat, pemerintah, maupun akademisi. Semua komponen itu harus bersinergi demi tercapainya lingkungan yang berkelanjutan.
Permasalahan banjir adalah permasalahan yang harus diselesaikan dengan melakukan perubahan secara menyeluruh dan radikal. Hal yang perlu diperbaiki lebih utama yaitu habitus masyarakat dan pemerintah. Perlu mengembalikan kesadaran ekologi yang mendalam dalam proses pembangunan dalam suatu DAS.
Perlu juga diketahui bahwa DAS tidak selamanya hanya dalam satu wilayah administrasi akan tetapi, di dalam satu DAS terdapat lebih dari satu wilayah administratif. Kota Makassar merupakan daerah yang berada dalam wilayah DAS Tallo dan sebagian di DAS Jeneberang. Sementara Kedua DAS tersebut bukan hanya kota Makassar di dalamnya tetapi ada Kabupaten Gowa, Kabupaten Maros, dan Kabupaten Takalar.
Daerah-daerah tersebut mesti menyamakan persepsi dalam menanggulangi permasalahan DAS yang kerap menyebabkan banjir. Walaupun ada badan khusus untuk pengelolaan DAS namun terkadang kerap ditemui tumpang tindih kebijakan. Kemudian tumpang tindih kebijakan membuat kebijakan itu tidak berjalan dengan baik. Maka dari itu, multi pihak pemerintah sangat dibutuhkan dalam membuat kebijakan untuk memperbaiki dampak kerusakan DAS.
Secara teknis yang dapat dilakukan untuk saat ini, perlu dibangun lagi bangunan air berupa bendungan dan kolam regulasi untuk menampung kiriman air. Selain itu, penataan ruang juga perlu diperbaiki berdasarkan analisis dampak lingkungan. pembuatan dan perbaikan saluran drainase juga perlu diperhatikan termasuk pembuatan sumur resapan pada setiap rumah. Sangat bagus juga jika menggunakan aspal beton berpori untuk jalanan atau lebih memperbanyak lagi resapan air di sekitar jalan beton.