Hak Air bagi Rakyat Indonesia, Sudahkah Terpenuhi?
Oleh: Ade Indriani Zuchri
Ketua Umum Sarekat Hijau Indonesia
“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” (The land and waters and natural wealth contained within them are controlled by the State dan shall be utilised to increase the prosperity of the People).
Pasal 33 UUD 1945
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2019 Tentang Sumber Daya Air mengandung 3 makna yaitu: (1): Bahwa air merupakan kebutuhan dasar hidup manusia yang dikaruniakan oleh Tuhan Yang Maha Esa bagi seluruh bangsa Indonesia; (2). bahwa air sebagai bogian dari sumber daya air merupakan cabang produksi penting dan menguasai hajat hidup orang banyak yang dikuasai oleh negara untuk dipergunakan bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; (3) Bahwa dalam menghadapi ketidakseimbangan antara ketersediaan air yang cenderung menurun dan kebutuhan air yang semakin meningkat, sumber daya air perlu dikelola dengan memperhatikan fungsi sosial, lingkungan hidup, dan ekonomi secara selaras untuk mewujudkan sinergi dan keterpaduan antarwilayah, antarsektor, dan antargenerasi guna memenuhi kebutuhan rakyat atas air.1
Dari 3 makna penting diatas, jelas sudah bahwa air adalah hak proregatif rakyat Indonesia, tercantum dalam poin satu yaitu air merupakan kebutuhan dasar hidup manusia yang dikaruniakan oleh Tuhan Yang Maha Esa, bagi seluruh rakyat Indonesia, yang hidup dalam wilayah kesatuan Republik Indonesia, termasuk orang-orang bukan warga negara Indonesia yang hidup dan tinggal dalam wilayah kesatuan Republik Indonesia yang memiliki aktivitas dalam persetujuan otoritas yang ditunjuk, sehingga hak dasar ini sesungguhnya mengandung peritah untuk Negara, wajib menyediakan kebutuhan air , baik konsumsi maupun aktivitas hidup manusia di wilayah kesaruan Republik Indonesia dengan sebaik-baiknya, dikarenakan kemampuan keuangan negara Indonesia yang belum memungkinkan untuk mendistribusikan air kepada seluruh warga negaranya secara gratis, maka diaturlah pola tata Kelola yang distributive,agar pemakaian air ini dapat dinikmati secara adil dan merata, jadi dalam poin tersebut, jauh sekali dalam makna penguasaan, monopoli dan perdagangan komersial, sehingga Air adalah hak setiap warganegara yang wajib dilindungi, dipastikan distribusinya, kualitas dan kuantitasnya.
Tetapi pasca Peraturan turunan paska penerbitan UU No.17 Tahun 2019. Yaitu pertama, alokasi air untuk kepentingan sosial dan kedua hak guna sektor bisnis. Selain itu pada Revisi UU Cipta Kerja, tidak terdapat lagi kategori swasta namun diubah menjadi badan usaha. Kategorisasi ini menyamaratakan kedudukan individu, koperasi, yayasan, industri, negara di mata hukum perdata, konsumsi/pemakaian individu sebagai mayoritas mandatory hak menjadi terabaikan karena potensi pengalokasiannya lebih banyak ke sector industry, akibatnya muncul skema privatisasi, tata Kelola industry air dan monopoli serta perdagangan air yang telah bergeser maknanya dari Hak menjadi Produk, sehingga untuk memperoleh air dalam jumlah besar dan kualitas yang layak, rakyat harus mengeluarkan sejumlah uang, dalam konteks ini, sesungguhnya Negara telah gagal menjalankan mandatory sebagai pelindung,distributor dan penyampaian hak rakyat atas air. Demikian pentingnya air bagi kehidupan manusia maka tidak mengherankan jika hak atas air dewasa ini, baik di aras global maupun di level nasional, telah diakui sebagai salah satu hak asasi manusia, yakni hak asasi manusia atas air (human right to water).
Dalam beberapa penjelasan yang disampaikan oleh Organisasi Masyarakat Sipil di Indonesia yang secara khusus melakukan counter ilmiah terhadap Undang-Undang Sumber Daya Air yang sejak awal pengundangannya telah memicu banyak kontroversi seperti hak guna usaha air itu diberikan secara longgar kepada pihak swasta (termasuk swasta asing). Melalui konsep hak guna usaha air yang dikonstruksikan oleh UU SDA tersebut, air dipandang sebagai benda ekonomi (economic good) dan oleh karenanya layak dikomersialisasikan, untuk selanjutnya menjalankan bisnis pengusahaan air.
Segera setelah itu bermunculan berbagai masalah dan konflik di lapangan yang melibatkan perusahaan pemegang hak guna usaha air yang biasanya melakukan eksploitasi/penyedotan/pengambilan air dari sumbersumbernya dengan masyarakat setempat yang terdampak oleh kegiatan pengambilan air yang dilakukan oleh perusahaan yang dimaksud.93 Dengan berbekal dan berlindung dibalik hak guna usaha air yang berwatak liberal dan kapitalistik itu, seringkali perusahaan yang bergerak di bidang pengusahaan air mengeksploitasi sumber-sumber air dengan semenamena tanpa mengindahkan hak masyarakat setempat untuk mendapatkan akses dan manfaat dari sumber-sumber air yang dikuasai oleh perusahaan tersebut. Akibatnya jelas sangat merugikan dan bahkan mengancam kelangsungan hidup masyarakat disekitarnya oleh karena terenggutnya hak asasi mereka atas air dan sumber-sumbernya itu.
Dengan berbekal izin pengusahaan air (water exploitation permit), seringkali perusahaan air memonopoli dan menguasai sumber air secara sepihak untuk kelancaran produksi perusahaannya tanpa menyadari bahwa sesungguhnya air/sumber air yang dikuasainya itu adalah milik publik (berdasarkan Pasal 33 ayat 3 UUD 1945, milik rakyat Indonesia) dan oleh karenanya ada hak orang banyak atas air/sumber air yang dimaksud. Praktek monopoli dan penguasaan sumber air yang demikian itu sama sekali tidak dapat dibenarkan, apalagi atas dasar pertimbangan ekomonis/komersiil belaka. Sebagaimana ditegaskan oleh MK RI di dalam Putusannya No. 85/PUUXI/2013 bahwa: “Setiap pengusahaan atas air tidak boleh mengganggu, mengesampingkan, apalagi meniadakan hak rakyat atas air, karena bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya selain harus dikuasai oleh negara, juga peruntukannya adalah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Oleh karenanya, Penguasaan air yang dilakukan negara dan didistribusikan kepada warga negara sebagai hak dalam sudut pandang Undang-Undang Sumber Daya Air tersebut tentu tidak memperoleh gambaran, belum lagi bila kita bicara ada ada kepentingan hak kaum marginal dan perempuan selaku pengguna air lebih banyak, seperti kita pahami, sesuai dengan konstruksi sosial masyarakat kita, dimana pekerja domestik, atau orang yang lebih banyak bekerja di wilayah domestik adalah perempuan, sehingga pengalokasian sumber daya alam untuk kepentingan industri akan mengganggu mobilitas penggunaan air untuk kepentingan rumah tangga marginal di Indonesia. (MY)