Land, Love and Surrender: Experiences Women’s Movement in Indonesia by; Ade Indriani Zuchri Chairman of Sarekat Hijau Indonesia (Indonesia Green Union)
Hutan adalah misteri, sebuah kengerian yang akan menjalari tubuhmu ketika memasukinya, terkadang, kengerian itu mengikuti kehidupanmu, sehingga wajah hutan menjadi sangat asing bagimu, hutan menutupi tubuhnya dengan misteri yang tidak setiap orang mampu memecahkannya, tetapi ketika kau menyerahkan hidupmu pada Hutan, Hutan akan bersedia melindungimu, seburuk apapun kondisinya, seberat apapun penderitaannya, karena itu adalah cinta, cintanya pada dirimu, cintanya pada kehidupan,cintanya pada manusia, dan cintanya pada perempuan.
Kami tidak pernah berfikir apakah hutan akan hilang satu hari?, kami hanya selalu berfikir, hutan adalah rumah yang sangat menyenangkan bagi kami, dia memberikan kebahgiaan,karena dia menyediakan ap saja yang kami butuhkan, sebagai perempuan yang hidup dalam kondisi patriarkhi, dimana kami harus bekerja belasan jam dalams ehari, menemui hutan adalah kebahagiaan bagi kami, dengan mudah kami mendapti apa saja yang kami inginkan, sayur,bibit,air,kayu dan tetu saja kebahagiaan.
Bagi masyarakat maju yang berfikir orang-orang yang hidup bersama hutan adalah orang-orang yang tidak maju, harus segera diselamatkan,karena kemajuan diukur dan dilihat dari pencapaian terhadap nilai-nilai yang modern,maju adalah defenisi yang membingungkan bagi kami, karena alam dan hutan telah menyediakan sepenuhnya,semuanya,mengapa kami masih harus mengejar kemajuan?, lalu akhirnya mimpi buruk itupun datang, satu demi satu merenggut kebahagiaan kami,kebahagiaan ayah ibu kami,kebahagiaan anak cucu kami,dan kebahagiaan mimpi besar kehidupan lami yang lebih panjang, padahal mereka pun sungguh juga tidak dapat dikatakan sebagai orang maju, mereka makan sangat banyak,hdup dengan boros,menghabiskan energi lebih bayak,memboroskan air sehingga kami masyarakat desa dan tentu hutan kami yang harus menanggungnya.
Hidup menjadi sangat tidak adil setelah itu, kami yang telah bersusah payah menjaga bumi kami, menjaga alam kami,menjaga hutan kami,menjaga air kami dan menjaga tanah kami, harus mengalah berkorban untuk orang-orang yang tidak bisa menahan nafsu mereka, kami harus rela dikendalikan oleh sebagian kecil orang-orang didunia ini yang bisa masuk dan pergi kedalam hutan kami tanpa penghormatan apapun…
Perjuangan kami tidaklah mudah, kami menghadapi banyak kesulitan, sebagai perempuan yang terbatas ilmu pengetahuannya, sebagian dari kami bahkan tidak bersekolah,harus mampu mengalahkan kediktatoran kesombongan dan kecongkakan industri ekstraktif dan perkebunan besar untuk pergi dari tanah kami. bila hutan kami begitu mengerikan, sehingga kami pun tidak mampu memasukinya terlalu jauh,apalagi mengambil terlalu banyak dari hutan tersebut,lalu apa sebutan paling pantas untuk manusia tamak yang tanpa kengerian menebangi hutan kami tanpa sisa hanya untuk kepentingan ekonomi semata?, sebutan yang paling buruk rasanya masih belum mampu menggambarkan kepedihan dan menderitanya hati kami, para perempua yang hidup dan bergantung,pada kebaikan Tuhan dan Alam, kami telah memahami setiap hembusan suara angin,kami memahami arti gesekan daun dimalam hari,kami tahu arti disakiti,kami sangat mengerti arti cinta. Kami berdoa sepanjang hari agar Tuhan memanjangkan usia alam ini,sehingga anak cucu dan keturunan kami bisa bersekolah dengan baik, bisa makan, bisa hidup bahagia, kami tidak pernah berdoa untuk kehancuran, apalagi menghancurkan bumi kami.
Setelah perusahaan besar datang, anak perempuan kami satu-satu hilang dari bangku sekolah, bukan karena mereka bodoh, karena kami orang tuanya tidak mampu menyekolahkan mereka, kami memilih menikahkan mereka walau masih belum saatnya menikah, kami menikahkan anak-anak perempuan kami karena miskin, sakit betul hati kami ketika menyebut miskin,karena kami tidak miskin dari mula, kami mikin karena industri yang masuk ke desa kami,menghancurkan hutan kami. Kami juga harus melepas anak laki-laki dan suami kami ke kota untuk sekedar bertahan hidup,karena tanah kami diambi secara paksa oleh perkebunan, kami menjadi tulang punggung,segala harapan saat ini menjadi beban dan tanggung jawab perempuan, kami kehilangan keceriaan sebagai perempuan,sebagai manusia.
Apa yang telah kami lakukan untuk mengambil balik mimpi kami tentang keindahan hutan kami,tentang keindahan sungai kami, tentang keindahan desa kami, berkali-kali didera kepedihan karena suami dan anak-anak laki-laki diambil paksa dan sejak itu kami tidak bertemu lagi, apa yang telah kami lakukan agar kami bisa duduk dan menyemai padi ditanah kami?, kami berjuang dengan apa yang kami bisa,mendatangi perkebunan,mendatangi kepolisian,mendatangi parlemen,mendatangi istana presiden, kami tetap kalah, kami mulai putus asa.
Kami mulai keletihan,sebagian mulai menyerah, pergi satu persatu satu meninggalkan hutan yang kami cintai,memilih takdir mereka masing-masing, kalaupun ada yang bertahan,itu karena masih menyimpan harapan, sampai akhirnya kami mengenali bahwa teman perjuangan adalah harapan, itu yang akhirnya membuat kami kembali berjuang.
Dalam setiap doa dan perjuangan kami, kami menyematkan doa-doa terbaik bagi organisasi kami yang selalu sedia berdiri disamping kami untuk membela kami, bukankah kesedihan akan menjadi berkurang bila kau memiliki seseorang untuk menyandarkan bahumu dan menyerahkan air matamu ke tanah?, organisasi menjadi rumah yang paling indah bagi kami, setiap derita akan diakumulasi dalam harapan, walau kami pun tahu entah sampai kapan penderitaan itu akan digantikan bahagia.
Dalam organisasi, kami belajar berempati tentang derita sesama perempuan, kami belajar mendengar lebih bijak tentang penderitaan,kami memberi nama pada setiap cinta kami pada masing-masing teman perempuan kami, tidak banyak perempuan yang berani berada didepan garis perjuangan, dengan segala fasilitas yang mereka miliki saat ini, tetapi itulah cinta, tragedi kehilangan tanah telah membawa kami pada cinta terhadap sesama, kami akan berjuang untuk anak-anak kami dimasa depan, Sarekat Hijau Indonesia mengajarkan bahwa kami tdak sendiri, kami berada pada naungan harapan, kami aman dalam rumah besar yang didalamnya ada solidaritas, kasih sayang,penghormatan terhadap sesama, kami masih harus tetap berjuang, mungkin masih akan lama, tetapi penderitaan ini telah mengajarkan kepada kami, untuk terus bekerja, berharap,berdoa dan belajar bahwa hidup bukan untuk diri sendiri, tetapi hidup adalah untuk kehidupan.
(Dikumpulkan atas pengalaman-pengalaman Perempuan Hijau SHI yang melakukan adcokasi terhadap sumber daya alam, di Indonesia)