Mengapa Jalan Intelektual Semakin Sunyi?
Judul dalam tulisan ini merupakan sebuah kalimat tanya yang pernah disampaikan oleh almarhum AE Priyono. Namun tulisan ini tidak bermaksud untuk dijadikan sebagai kenangan yang sepenuhnya di dedikasikan untuk beliau, hanya saja kalimat tanya tersebut dirasakan sesuai untuk melihat krisis intelektual di Indonesia pada saat ini. Nama AE Priyono tidak cukup atau bahkan tidak dikenal oleh kelompok Generasi Z, sudah barang tentu nama tersebut akan dipertanyakan oleh mereka. Anang Eko (AE) Priyono adalah seorang yang dilahirkan di kaki gunung sindoro-sumbing, mengenyam pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta. Namanya dikenal sebagai seorang pembela demokrasi di Indonesia. Aktivisme di dalam organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) telah mengantarkannya terlibat di Lembaga Penelitian, Pendidikan, Penyuluhan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) Jakarta. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang berdiri tahun 1971 ini dikenal sebagai tempat berkumpulnya para pegiat sosial dan intelektual di dalam mempromosikan ide-ide tentang emansipasi dalam pembangunan, atau mempergunakan istilah Peter M. Haas, seorang ilmuwan politik dari University of Massachusetts, LP3ES merupakan organisasi epistemic community. Dapat juga dikategorikan dengan meminjam istilah dari Antonio Gramsci sebagai organisasi para intellectual organic yang memiliki keberpihakan tinggi terhadap aktivisme dan intelektualisme.
Mas AE (begitulah para junior memanggilnya), secara otodidak terdidik dalam dunia diskusi akademik dan penelitian, dia merasakan kegelisahan tentang semakin sunyinya kaum intelektual dalam menyuarakan pemikiran kritis terhadap kondisi yang terjadi. Ada benarnya pertanyaan dari Mas AE tersebut apabila kita melihat situasi yang terjadi di dunia akademik akhir-akhir ini. Maraknya pemberian gelar akademik dalam bentuk Doctor Honoris Causa kepada sejumlah politisi, pimpinan partai, bahkan juga kepada influencer terkemuka, dengan tanpa melalui proses pertimbangan akademik yang memadai. Tidak saja itu, politisi-politisi di Senayan seringkali mempergunakan justifikasi gelar akademik hanya untuk memperkuat posisi politiknya. Tidak sedikit juga dari para politisi tersebut yang memperoleh gelar akademik dengan menyusun tesis maupun disertasi, hanya berisikan puja-puji terhadap pimpinan partainya, semua hal ini dilakukan dengan tanpa sebuah pengujian ilmiah secara ketat. Peristiwa beberapa waktu lalu, publik Indonesia dikagetkan dengan kelulusan seorang politisi yang memperoleh gelar doktor dalam tempo sesingkat-singkatnya. Hal ini tentunya menggugah pertanyaan publik atas kredibilitas salah satu universitas yang selama ini dianggap sebagai universitas papan atas di Indonesia. Ironisnya semua “aib” intelektual tersebut seringkali dipertontonkan secara gamblang melalui pemberitaan berbagai media.
Dalam menyikapi kejadian yang terjadi dalam dunia akademik di Indonesia, tentunya penulis memiliki keprihatinan terhadap hal tersebut. Keresahan, kegelisahan, dan kekhawatiran semakin menurunnya kualitas akademik menjadi perhatian utama penulis. Perasaan tersebut bukan berdasarkan tanpa alasan karena semakin menghilangnya intelektualisme, terutama di kalangan generasi muda pada saat ini, kondisi tersebut tentu memiliki dampak terhadap pemikiran kritis terhadap kekuasaan. Jika dalam rentang waktu awal 1970 hingga akhir tahun 1980-an, gairah intelektualisme sangat kental yang di warnai dengan perdebatan teoritik, baik melalui jurnal ilmiah, maupun media cetak. Indonesia mengenal tokoh-tokoh intelektual publik seperti Nurcholish Madjid dengan gagasan Islam Liberal, Dawam Raharjo dengan gagasan pembangunan emansipatoris, Gus Dur tentang demokrasi, Arief Budiman tentang pendekatan kiri, belum lagi terdapat nama-nama lainnya yang telah meninggalkan “intellectual legacy” di Indonesia. Dalam bidang ilmu politik, sosiologi dan antropologi dikenal nama-nama besar seperti Selo Soemadjan, Koentjaraningrat, Miriam Budiardjo, Deliar Noor, Alfian, Hasan Shadily, Saparinah Shadily, Dhaniel Dhakidae, Mochtar Mas’oed, sedangkan dalam bidang ekonomi dikenal nama-nama seperti Sri Edi Swasono, Mubyarto, Adi Sasono, Sritua Arif.
Tak hanya itu, dalam bidang sejarah dikenal juga sejarawan yang dikenal luas oleh komunitas akademik di Indonesia, seperti Sartono Kartodirdjo, Ong Hok Ham, Kuntowijoyo. Menariknya lagi, rata-rata para aktivis yang merasakan gairah aktivisme pada masa itu merupakan para pembaca ulung, sehingga mereka mampu membangun dialektika pemikiran secara konstruktif berdasarkan sumber-sumber akademik yang sahih. Maka tidak mengejutkan jika para generasi pemikir penerusnya mampu membangun kritisisme yang menyamai para senior pendahulunya, sebutlah tokoh-tokoh intelektual dan aktivis seperti George Junus Aditjondro, Ariel Heryanto, Vedi R. Hadiz, Aswab Mahasin, Hamid Basyaib, AE Priyono dan lainnya. Singkatnya, Indonesia memiliki keberlimpahan sumber intelektual dan intelektual aktivis (scholar activist) yang berani bersuara lantang dengan di dasarkan pada pemikiran intelektual mumpuni.
Embrio Pengkhianatan Kaum Intelektual
Pada masa pemerintahan Orde Baru ala Soeharto, pemerintahan monolitik yang terpusat pada presiden menyebabkan ruang demokrasi sangat sempit. Pemilu yang di orkestrasi oleh kekuasaan dengan pilar ABRI, Birokrasi dan Golkar (ABG) (Suryadinata, 1993), tidak menyurutkan perlawanan intelektual terhadap penguasa yang dianggap otoriter. Pemberangusan buku-buku “kiri” yang di tenggarai identik dengan ideologi Marxisme dan Komunisme dilakukan oleh pemerintah Orde Baru, ruang-ruang diskusi untuk membangun kritisime pemikiran tak luput dari pantauan kekuasaan, istilah-istilah ilmu sosial mengalami penghalusan sesuai dengan peraturan dari penguasa. Vedi R. Hadiz (2005) dalam Social Science and Power in Indonesia menjelaskan dengan gamblang tentang kekuatan negara Orde Baru dalam menentukan wacana ilmu sosial di Indonesia. Kondisi kekuasaan Orde Baru dapat diartikan sejalan istilah dari ilmuwan politik, James Thayer Sidel, yang disebut dengan Strong State and Weak Society (Sidel, 1999).
Pelemahan masyarakat dan “civil society” dilakukan secara sistematis melalui perangkat negara pada Orde Baru berkuasa. Namun intelektualisme tidak tunduk terhadap kekuasaan, namun tetap dipertahankan dengan tetap menjaga jarak terhadap kekuasaan. Sebagai contoh, pembentukan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) yang merupakan upaya Soeharto merangkul kelompok Islam memperoleh perlawanan keras dari Abdurrahman Wahid (Gusdur) melalui Forum Demokrasi (Fordem). Gusdur menganggap bahwa pembentukan ICMI merupakan penaklukan negara terhadap Islam (Hefner, 2000) . Apabila ditelalah secara lebih mendalam, terdapat hal menarik untuk diketahui bahwa Fordem tidak hanya terdiri intelektual-intelektual Islam, namun terdapat pemikiran dan aktivis non Islam seperti Marsilam Simanjuntak dan Rocky Gerung. Artinya Fordem dapat diposisikan sebagai perwujudan atas konsepsi tentang pembentukan kelas menengah intelektual terdidik, sekaligus sebagai landasan “civil society” yang telah dikembangkan dari tahun 1970-an.
Perubahan politik di Indonesia pada tahun 1998 telah mengubah cara pandang masyarakat Indonesia terhadap politik. Kelompok-kelompok yang pada waktu sebelumnya melakukan perlawanan terhadap otoritarianisme Soeharto mulai mengambil dua strategi berbeda. Pertama, tetap berada di luar kekuasaan dengan argumentasi bahwa mengambil jarak terhadap kekuasaan tetap diperlukan untuk memberikan kritisisme terhadap proses transisi demokrasi yang terjadi pada saat itu. Kedua, masuk ke dalam kekuasaan dengan argumentasi bahwa perubahan perlu di kawal dari dalam melalui sistem politik baru yang akan dibangun dengan terlibat di dalamnya.
Perbedaan dalam strategi mengawal transisi demokrasi ini dianggap oleh penulis merupakan embrio di dalam menurunnya gairah intelektualisme berbasis pada ide-ide akademik. Tak heran jika perdebatan tidak lagi terjadi dengan berlandaskan sudut pandang konsep, teori dan metode, tetapi lebih pada upaya mempertahankan pendirian masing-masing. Pada satu sisi, kelompok kritis tetap konsisten terhadap kekuasaan dan mengklaim dirinya sebagai representasi “civil society”, sedangkan pada sisi lain terdapat kelompok-kelompok yang membela kekuasaan. Polarisasi yang terbangun dari sejak awal transisi demokrasi, tidak hanya berakibat terhadap rendahnya kualitas transisi itu sendiri, namun juga dalam menentukan konsolidasi demokrasi pada tahapan selanjutnya, seiring dengan hal tersebut terjadi penurunan intelektualisme dalam wacana-wacana ruang publik (decline of public discourse) di Indonesia. Bahkan konsolidasi demokrasi, sebagaimana dikemukakan oleh Samuel P. Huntington, seorang ilmuwan politik dari Harvard University, belum mampu di wujudkan hingga saat ini. Gagasan maupun praxis atas konsolidasi demokrasi seperti menguap di tengah perdebatan para politisi yang tidak bermaterikan substansi mendalam.
Dengan semakin menguatnya pendekatan dengan melibatkan diri dalam sistem politik, berimplikasi terhadap semakin terkooptasinya intelektual oleh kekuasaan. Julian Benda (2005) dalam Pengkhianatan Kaum Cendekiawan menjelaskan bahwa tugas utama kaum intelektual adalah menjaga moral. Secara lebih jauh, Benda menggambarkan fungsi cendekiawan atau intelektual adalah untuk menghasilkan pengetahuan yang bersifat universal dan objektif, serta untuk mempertahankan nilai-nilai moral dan intelektual yang murni, tidak tercemar oleh kepentingan politik atau ekonomi. Oleh karena itu, tugas utama cendekiawan adalah untuk mempertahankan otonomi intelektual dengan menjaga jarak dari politik praktis, sehingga mereka dapat mempertahankan kebebasan berpikir dan kebenaran ilmiah tanpa terpengaruh oleh kepentingan politik atau ekonomi.
Fenomena pengkhianatan kaum intelektual ini semakin kentara ketika Joko Widodo (Jokowi) terpilih menjadi presiden Indonesia ketujuh pada tahun 2014. Mietzner (2015) dalam Reinventing Populism Jokowi’s Rise, Democracy, and Political Contestation in Indonesia menyebutkan bahwa “Jokowi adopted many key aspects of conventional populist concepts: the emphasis on social welfare programs; the cultivation of an image of simplicity and egalitarianism; and the adoption of economic nationalism, albeit reluctantly. But unlike most other populists, whether in Latin America or Asia, Jokowi presented no “Other” against which he could agitate or define his platform”. Kesederhanaan dan egaliter, disertai dengan program-program sosial yang menunjukkan keberpihakan terhadap masyarakat adalah ciri yang ditunjukkan oleh Jokowi. Stagnasi ekonomi pada masa pemerintahan sebelumnya memberikan peluang munculnya populisme. Tak dapat dipungkiri bahwa populisme terlahir dari kemandekan demokrasi dalam menyelesaikan permasalahan mendasar masyarakat. Artinya populisme dianggap sebagai jawaban atas permasalahan tersebut, meskipun dalam beberapa hal populisme dianggap dapat membahayakan, serta menjadi ancaman untuk demokrasi itu sendiri (Masudi, 2019; Urbinati, 2019).
Dalam hal ini, penulis merasa perlu untuk menelaah lebih jauh kemunculan populisme di Indonesia dengan menurunnya intelektualisme. Populisme dapat diartikan sebagai an ambiguous term that escapes sharp and uncontested definitions, because it “is not an ideology or a political regime, and cannot be attributed to a specific programmatic content” (Mouffe 2016), but rather is a form of collective action aiming to take power. Yet although populism is “a way of doing politics which can take various forms, depending on the periods and the places,” it cannot be compatible with nondemocratic forms of politics, because it poses as an attempt to build a collective subject through consent and to question a social order in the name of the interests of the large majority (Mouffe 2016).
Populisme sebagai sebuah kebaruan cara memperoleh dukungan politik dari masyarakat, telah menarik perhatian dari para intelektual, terutama yang selama ini menantikan sosok baru dalam politik Indonesia. Kampanye politik Jokowi memberikan corak dan warna baru dalam politik Indonesia, berbeda dengan kampanye sebelumnya. Sebagai pribadi, Jokowi bukanlah siapa-siapa, tidak memiliki hubungan dengan militer, politisi di pusat, bahkan tidak memiliki hubungan dengan kelompok-kelompok politik tertentu di Indonesia. Hal ini yang menyebabkan popularitas Jokowi sangat tinggi. Para intelektual, baik sebagian dari kampus-kampus, maupun dari organisasi non pemerintah memberikan dukungan pada waktu kampanye Jokowi, serta menaruh kepercayaan untuk mampu membawa perubahan dalam politik Indonesia.
Dengan terpilihnya Jokowi pada pemilu 2014, hampir rata-rata intelektual publik, aktivis, dan para pemikir kritis masuk ke dalam pemerintahan. Berbagai posisi di aturkan untuk mereka yang berkontribusi saat kampanye Jokowi. Posisi menteri di prioritaskan pada partai-partai politik pendukung, sedangkan komisaris BUMN, tenaga ahli kepresidenan, staf kantor kepresidenan, hampir dipenuhi oleh intelektual dan aktivis. Tentunya kedatangan mereka tidak sepenuhnya bergantung kepada Jokowi, tetapi periode transisi politik di awal pasca reformasi, telah melahirkan para politisi berbasis aktivis dan intelektual di dalam sistem politik. Hubungan berjejaring antara intelektual dan aktivis lama dengan aktivis maupun intelektual yang baru masuk ke dalam pemerintahan Jokowi, tidak terjadi sebagai sesuatu yang “taken for granted”.
Para intelektual publik di Indonesia yang selama ini dikenal karena pandangan kritisnya terhadap pemerintah, tidak lagi memiliki jarak dengan kekuasaan, bahkan sudah menjadi bagian dari kekuasaan itu sendiri. Basis kepentingan politik maupun ekonomi lebih kuat dibandingkan mempertahankan konsistensi untuk berjarak dengan kekuasaan. Alhasil kritisisme yang terbangun selama ini dipergunakan secara instrumental dalam rangka membela pemerintah. Selama hampir 10 tahun masa pemerintahan Jokowi, intelektual semakin mengalami polarisasi. Apabila polarisasi gelombang pertama dipengaruhi oleh transisi demokrasi, sebagaimana dijelaskan pada bagian sebelumnya, maka polarisasi gelombang kedua semakin membelah antara intelektual yang pro dan anti terhadap pemerintah. Kondisi ini juga yang menyebabkan para politisi tak bertanggung untuk mempergunakan legitimasi gelar akademis yang diperolehnya, baik secara prosedural dan non prosedural untuk “seolah-olah” melegitimasi sikap maupun tindakan politiknya. Kendati demikian, penulis mencoba untuk berpandangan objektif bahwa tidak semua politisi mempergunakan gelar akademik hanya untuk kepentingannya saja.
Intelektualitas di Era Post-Truth
Selain disebabkan oleh perubahan politik, eksistensi intelektual semakin mengalami keterpurukan yang disebabkan oleh Revolusi Digital 4.0. Castells (2010) dalam The Rise of the Network Society, mengetengahkan tentang sebuah masyarakat yang berjejaring karena perkembangan teknologi dan informasi. Pada satu sisi perkembangan teknologi dan informasi memiliki dampak positif terhadap semakin terkoneksinya individu-individu dengan dunia yang lebih luas, sehingga perkembangan di segala penjuru dunia dapat diketahui dengan cepat dan mudah. Tetapi pada sisi lain, perkembangan tersebut telah melahirkan dampak buruk, terutama untuk para pengguna teknologi yang tidak disertai oleh literasi digital. Adapun yang dimaksud dengan literasi digital merujuk pada kemampuan di dalam melakukan filter terhadap informasi yang diperoleh. Namun perkembangan dunia digital di Indonesia sebagai akibat perkembangan teknologi dan informasi, tidak senantiasa disertai dengan perkembangan literasi digitalnya. Akibatnya, informasi yang diperoleh dianggap sebagai sebuah kebenaran, atau paling tidak dipercaya sebagai sebuah kebenaran, dengan tanpa dipastikan terlebih dahulu kebenaran atas informasi yang diterima.
Kondisi tersebut, sebagaimana yang dikemukakan dapat berpotensi tersebarnya berita palsu (hoax). Hal ini yang kemudian melahirkan istilah yang dinamakan post-truth. Istilah ini diperkenalkan oleh Stevan Tesich dalam artikel yang ditulisnya pada tahun 1992 dengan judul A Government Lies. Secara definisi dengan mengacu pada Oxford Online Dictionary, post truth di definisikan sebagai “relating to circumstances in which people respond more to feelings and beliefs than facts”, sedangkan menurut Cambridge Dictionary di definisikan sebagi “A situation in which people are more likely to accept an argument based on their emotions and beliefs, rather than one based on facts”. Berdasarkan dua definisi tersebut, post-truth adalah sebuah hal yang dipercaya kebenaran dengan bukan berdasarkan sebuah pengujian secara ilmiah, tetapi suatu kebenaran akan dianggap benar apabila diyakini bersama. Akibatnya, sebuah kebenaran yang dipercaya bersama ini telah mengabaikan peranan penting intelektual.
Nichols (2017) dalam “The Death of Expertise: he Campaign Agains Established Knowledge and Why it Matters. Istilah “The Death of Expertise” yang dikemukakan oleh Tom Nichols mengacu pada akar dari sikap segala kebebalan orang awam yang mengalami “Efek Dunning-Kruger”. Konsep Dunning-Kruger ditemukan oleh David Dunning dan Justin Kruger dari Cornell University pada tahun 1999 dan menyiratkan bahwa semakin kurangnya kompetensi seseorang, semakin besar keyakinannya bahwa dirinya sebenarnya kompeten. Penemuan ini menunjukkan bahwa tidak hanya kesalahan dalam membuat kesimpulan dan memilih, tetapi juga ketidakmampuan mereka untuk mengenali kesalahan tersebut. The Death of Expertise bukan sekedar penolakan terhadap pengetahuan yang ada. Hal ini pada dasarnya merupakan penolakan terhadap ilmu pengetahuan dan rasionalitas yang tidak memihak, yang merupakan fondasi peradaban modern.
Perkembangan media digital, media sosial, dan platform digital lainnya telah membanjiri informasi yang diperoleh individu. Sebagai akibat dari hal ini, masyarakat mengakui bahwa informasi yang diperoleh merupakan sebuah kebenaran. Masyarakat awam cenderung kurang memiliki kesadaran untuk mengenali dan mengakui kesalahan yang mereka lakukan. Namun, pada saat yang sama, fenomena ini juga dapat diamati di kalangan individu yang disebut sebagai pakar. Banyak dari mereka yang terpesona oleh ambisi kekuasaan, turut terlibat dalam praktik politik dan kehilangan fokus pada peran dan tanggung jawab kepakaran mereka. Sebagai akibatnya, mereka melupakan bahwa memiliki keahlian tertentu membawa tanggung jawab besar dalam membangun kepercayaan masyarakat awam saat menghadapi berbagai masalah.
Selain itu, fenomena penurunan tingkat kognisi juga tampak pada para pakar di era media sosial. Mereka berhenti menerapkan refleksi kritis terhadap tindakan mereka dan gagal untuk mempertimbangkan ulang kesalahan yang telah dilakukan. Dengan kata lain, keahlian seseorang bisa berubah menjadi pseudo-pakar saat mereka tidak lagi melanjutkan pembelajaran dari bidang keahlian mereka. Pada akhirnya, fokus mereka hanya pada pencapaian-pencapaian kecil yang lebih kepada pengakuan atas keahlian mereka sendiri. Contohnya, menulis jurnal ilmiah hanya untuk memenuhi syarat kenaikan jabatan, atau melakukan penelitian hanya untuk mendapatkan dana riset, tanpa memikirkan dampak yang lebih luas bagi kemanusiaan.
Kurangnya tanggung jawab moral pada individu yang disebut sebagai pakar. Kehilangan tanggung jawab moral ini terjadi ketika mereka tidak menganggap gelar yang mereka miliki sebagai alat untuk memperluas tanggung jawab mereka. Sebaliknya, gelar seringkali dianggap sebagai akhir dari perjalanan akademis. Namun, gelar seharusnya berfungsi sebagai sarana untuk mampu lebih bertanggung jawab dan memberikan kontribusi yang lebih besar terhadap masyarakat dan kemanusiaan, daripada sekadar sebagai pencapaian pribadi.
Penutup
Dalam menjawab pertanyaan dari judul tulisan ini, setidaknya berdasarkan penjelasan, terdapat dua hal yang sangat mempengaruhi di Indonesia. Pertama adalah faktor politik yang disebabkan oleh dua momentum politik di Indonesia, yaitu transisi demokrasi pasca otoritarianisme Orde Baru dan kooptasi kekuasaan pada pemerintahan Jokowi. Sedangkan yang menjadi faktor kedua adalah perkembangan teknologi digital dan informasi. Hal ini telah menyebabkan sebuah fenomena yang disebut dengan matinya kepakaran (the death of expertise). Kedua hal ini menurut hemat penulis telah menyebabkan mengapa jalan intelektual semakin sunyi. (MY)
Meidia Pratama
Penulis adalah pemerhati masalah politik dan hubungan internasional