MENGGALI VERFREMDUNGSEFFEKT: ALIENASI KESADARAN KRITIS DARI IMAGINERI KARAKTER ‘PRANI’ DALAM FILM BUDI PEKERTI

Oleh: Della Rosa –

Sebagai medium seni, film memiliki kapasitas untuk melibatkan sisi kognitif dan emosional penonton. Lalu, bagaimanakah eksistensi sinema diposisikan? Jean-Luc Godard dalam kutipan wawancaranya yang diterbitkan di majalah Cahiers du Cinéma (1966) berkata bahwa tujuan sinema bukanlah untuk memberikan penjelasan psikologis, karena itu adalah ranah psikoanalisis. Sebaliknya, sinema bertujuan untuk menciptakan alienasi demi memprovokasi intelektual penonton. Hal ini sejalan dengan pemikiran Bertold Brecht mengenai konsep Verfremdungseffekt atau efek alienasi (keterasingan) yang menggagas bahwa sebuah pertunjukkan atau tontonan ditujukan bukan untuk membuat penonton terbuai dalam cerita, namun harus ada jarak atau ruang kosong di antara penonton dan tontonan yang membuat penonton tetap sadar bahwa yang mereka lihat bukanlah realita, sehingga mereka dapat berpikir kritis atas isu yang terjadi di dalamnya dan atau di lingkungan sekitarnya.

Goncangan Verfremdungseffekt sebagai Tujuan Sutradara Melahirkan Karya Sinematik

Bertold Brecht dalam konsep Verfremdungseffektnya menolak konsep Aristotelian yang cenderung memberikan keterlibatan penonton dalam katarsis di dalam sebuah cerita tiga babak. Menurutnya, keterlibatan hanya akan membuat penonton terbuai dalam kesadaran palsu. Penonton hanya akan larut dalam kemelowan drama fiksi, serta cenderung pasif dan tidak berpikir atas realitas sosial yang ada di cerita tersebut. Lalu, bagaimana dengan film-film masa kini yang mengisi industri perfilman tanah air?

Budi Pekerti (2023) karya Wregas Bhanuteja merupakan film yang memperlihakan kondisi teralienasi yang dialami oleh tokoh protagonisnya. Film ini menceritakan tentang seorang guru Bimbingan Konseling bernama Bu Prani di suatu SMP swasta di Yogyakarta yang dirundung satu Indonesia serta oleh lingkungannya karena video viralnya yang diduga mengumpat “asui”  atau “anjing” dalam Bahasa Jawa kepada penjual putu di pasar. Padahal, Bu Prani tidak mengumpat “asui” namun “ah suwi” atau “ah lama” saat ia bertengkar pada pembeli putu yang menyerobot antrean. Tetapi, semua orang yang merundungnya terlena dan tidak peduli untuk berpikir ulang tentang kebenaran video itu. Mereka cenderung tergiring oleh media-media yang memviralkan video viralnya.

Jika dilihat dari sudut pandang kepenontonan, apakah Budi Pekerti ditujukan untuk menjadi film drama yang mengiris hati serta membuat kita simpati terhadap Bu Prani, atau justru ditujukan untuk membuat penonton berpikir kritis atas isu perundungan dunia maya yang marak terjadi di masa kini? Saya percaya Wregas tidak sedangkal itu dalam menjadi Tuhan pada karya-karya ciptaannya, walaupun ia tidak se’licik’ Jean-Luc Godard yang menumbangkan teori estetika (Macaux, 2014). Budi Pekerti diciptakan bukan sekadar untuk menjadi film drama yang membuat kita menangis, tapi film ini berusaha menjadi sebuah medium dalam mengekspos hal-hal yang benar namun menjadi sebuah keasingan yang diharapkan tertangkap oleh mata dan hati penonton, melalui konsep Verfremdungseffekt yang diterapkan dalam teknis pembuatan film ini.

Suatu hal yang wajar ketika penonton seringkali terbawa perasaan pada karakter tanpa mempertanyakan struktur sosial atau kondisi yang memungkinkan masalah tersebut terjadi. Namun, Verfremdungseffekt memecah ilusi tersebut dengan menghadirkan elemen-elemen yang aneh atau asing, agar penonton tetap berjarak dengan tontonannya. Elemen-elemen ini mencakup breaking the fourth wall, keabu-abuan karakter, elemen visual yang tidak realistis, musik dan suara yang kontras dengan adegan, didactic elements, serta penggunaan open ending. Meskipun penerapannya tidak seagresif The Cabinet of Dr. Caligari (1920), Breathless (1960) atau Wings of Desire (1987) mengingat Budi Pekerti juga diharapkan menjadi film box office.

Munculnya Alienasi : Perbedaan Tingkat Kesadaran, Ruang Publik, Hegemoni Nilai, dan Imagineri.

Sebenarnya, apa yang menyebabkan alienasi di film ini terjadi sehingga penonton dipaksa untuk memprovokasi intelektualnya? Alienasi atau keterasingan dapat terjadi karena adanya perbedaan tingkat kesadaran, sebuah gagasan filsafat pendidikan yang diusung oleh Paulo Freire. Hal ini pula yang memantik permasalahan Bu Prani dalam Budi Pekerti. Perbedaan tingkat kesadaran kritis dan kesadaran naif yang terjadi antara Bu Prani dengan masyarakat di lingkungannya membuatnya merasa terasing. Kesadaran kritis membuat seseorang memahami hubungan sebab-akibat secara mendalam dan merasa terdorong untuk bertindak atau mengadvokasi perubahan. Sebaliknya, kesadaran naif membuat seseorang menyadari ketidakadilan, tetapi cenderung menerima atau membiarkannya karena merasa tidak berdaya atau karena perilaku tersebut dianggap normal. Hal ini tergambarkan ketika Bu Prani berupaya menegur orang yang menyerobot antrean saat membeli kue putu, namun masyarakat di lingkungannya merasa bahwa menyerobot antrean adalah kenormalan. Walaupun, nilai dominan yang dianut masyarakat belum tentu benar karena seringkali nilai-nilai yang sudah berakar kuat itu bersumber dari proses hegemoni.

Mengapa orang-orang di lingkungan Bu Prani tidak berangkat dari kesadaran naif menuju kesadaran kritis? Adanya hegemoni nilai dari kelompok mayoritas menjadi landasan permasalahan ini. Mereka mengintervensi ruang publik. Padahal, ruang publik merupakan tempat masyarakat berinteraksi yang seharusnya melahirkan kesadaran kritis. Namun, karena ruang publik ini dikendalikan oleh kelompok mayoritas, ruang publik yang seharusnya melahirkan kesadaran kritis justru melahirkan kesadaran naif. Selain itu, jumlah kelompok masyarakat yang besar juga  mengancam sehingga Bu Prani mengalami keterasingan. Bu Prani yang memiliki level kesadaran kritis menjadi teralienasi di tengah-tengah konstruksi sosial yang masih berada di level kesadaran naif karena tidak berada pada level kesadaran yang sama. Kesadaran kritis juga tumbuh bukan melalui usaha intelektual semata-mata, namun melalui praksis perpaduan antara aksi dan refleksi.

Refleksi Bu Prani : Jembatan Penonton dalam Merasakan Keberjarakan

Refleksi merupakan kata yang sering kita dengar di film Budi Pekerti. Bu Prani selalu memberikan “refleksi” ke murid-muridnya jika mereka berbuat kesalahan. Ia tidak menyebutnya hukuman, melainkan refleksi. Bu Prani tidak menghukum dan tidak menggurui namun mengajak murid-muridnya untuk merasakan sendiri dan mengamati pengalaman atas perbuatan yang mereka lakukan. Hal ini sejalan dengan filsafat pendidikan Paulo Freire yang menerangkan bahwa kesadaran baru hanya dapat dicapai melalui pengalaman hidup. Pendidikan sendiri merupakan satu proses transformasi membentuk dunia baru yang terbebas dari dehumanisasi. Sehingga relasi antara guru dan murid tidak boleh sebagai subjek dan objek, yang terepresentasikan seperti teko yang  mengisi gelas kosong. Relasi antara guru dan murid seharusnya menjadi subjek dan subjek di mana objeknya adalah realitas sosial yang akan diubah. Harapannya, dengan refleksi yang diberikan oleh Bu Prani, sang murid dapat menemukan sendiri kebenaran yang didapat berdasarkan pengalamannya sehingga mampu merubah hal buruk yang ada di dalam diri mereka ataupun di dalam realitas sosial yang mereka lihat dan hadapi.

Namun, ada sebuah keabu-abuan karakter di tengah plot film Budi Pekerti yang membuat kita sebagai penonton merasa berjarak dengan karakter Bu Prani. Pada sequence 4 (midpoint) film ini, permasalahan terasa mulai mereda ketika banyak alumni murid-murid Bu Prani yang mendukung untuk membersihkan namanya dengan membuat video klarifikasi bahwa Bu Prani adalah guru yang baik, dengan menyatakan bahwa Bu Prani sering memberikan refleksi saat mereka melakukan kesalahan dan hal itu berdampak baik terhadap perkembangan kepribadian mereka. Tetapi, ada satu klarifikasi murid yang kemudian membawa plot cerita film ini ke sequence 6 (main culmination), yaitu video klarifikasi mantan murid Bu Prani bernama Gora yang membuat Bu Prani kembali dikecam publik, akibat Gora yang menyatakan bahwa ia pernah diberi refleksi untuk membantu tukang gali kubur menguburkan mayat karena ia sering berkelahi sampai hampir drop out. Bu Prani lalu kembali kehilangan kepercayaan terhadap orang-orang yang sebelumnya mendukungnya. Ia dicap sebagai guru psikopat, memberikan trauma psikologis pada murid, serta mempekerjakan anak di bawah umur dengan hukuman yang tidak pantas. Bu Prani yang sebelumnya dipercaya penonton sebagai orang yang baik, justru mungkin sekarang membuat penonton mulai mengaburkan kepercayaannya.

Kemudian, saat situasi semakin kacau, Bu Prani mendapat laporan dari muridnya Daru tentang refleksi praktikum kecambah yang dilakukannya. Ia memperlihatkan bahwa kecambah yang didengarkan suara “bodoh, goblok, tolol, pethuk, ubur-ubur” dengan kecambah yang tidak diperdengarkan suara tersebut sama-sama memiliki panjang 23 cm. Penonton maupun Bu Prani mungkin berekspektasi bahwa kecambah yang diumpat akan lebih pendek dari kecambah yang tidak diumpat. Kegagalan ekspektasi ini membuat kita terdistraksi, bahwa sebenarnya refleksi yang dilakukan Bu Prani ini memang benar ditujukan untuk menumbuhkan kesadaran kritis pada murid-muridnya, atau sekadar memenuhi ego diri sendiri?

Gambar 1

Breaking the fourth wall juga diterapkan pada shot di adegan ini. Bu Prani menatap ke arah kamera (penonton) untuk memecah ilusi realisme. Pada adegan ini, Bu Prani mendengarkan rekaman refleksi yang ia beri ke muridnya tersebut, yaitu suara “bodoh, goblok, tolol, pethuk, ubur-ubur” [Gambar 1]. Ini memperlihatkan bahwa Bu Prani yang selama ini memberikan refleksi kepada orang lain, kini ia melakukan refleksi terhadap dirinya sendiri. Bu Prani merasa ada andil dari perbuatannya yang menggiringnya ke permasalahannya. Sama seperti protagonis lainnya, Bu Prani memiliki kelemahan yang dapat membuat kita teridentifikasi.

Dua situasi terhadap refleksi yang diberikan oleh Bu Prani ini yang menggambarkan keabu-abuan karakter Bu Prani, memaksa kita untuk tidak menginvestasikan emosional kita saja  agar kita mulai berpikir kritis atas posisi dari eksistensi Bu Prani. Guru seperti apakah sebenarnya Bu Prani? Siapa yang salah dan siapa yang benar? Apakah tindakan yang dilakukan Bu Prani sekarang sudah bijak? Inilah yang diharapkan verfremdungseffekt.

Gambar 2.

Sebenernya, penerapan breaking the fourth wall juga sudah ada pada babak pertama film. Ini diperlihatkan pada  di dalam adegan Bu Prani yang menyalakan berbagai warna lighting setelah membuat video klarifikasi saat Muklas, anak laki-laki Bu Prani dirundung karena dianggap tidak mengakui ibunya di akun media sosialnya [Gambar 2]. Shot di dalam adegan ini memperlihatkan Bu Prani yang menatap ke arah kamera dengan penggunaan flat space yang memperkuat kesan alienasi.

Kecemasan, Isolasi, dan Imagineri dalam Teknis Suara dan Gambar

Pada awal terjadinya masalah, terjadi dinamika kecemasan yang melibatkan id, ego, dan super ego. Ego Bu Prani mengembangkan sistem pertahanan diri atau Defense Mechanism dengan penyangkalan (denial), yaitu menolak keberadaan ancaman eksternal bahwa video “asui” nya viral di dunia maya. Hal ini terlihat saat Bu Prani bereaksi biasa saja saat Muklas dan Tita panik dengan viralnya video Bu Prani di internet. Serta Bu Prani yang menolak untuk mengubah gaya rambut saat diajak Muklas pergi ke salon agar orang-orang tidak mengenalinya. Ego Bu Prani mengembangkan sistem pertahanan diri tersebut untuk mengurangi kecemasan karena ketika ego tidak mampu menyeimbangkan antara tuntutan id dengan relita dan nilai nilai moral (super ego), akan terjadi kecemasan atau ansietas.

Dalam The Seminar of Jacques Lacan: Book X, Anxiety (1962-1963), Lacan menggagas “Realitas, Simbol, dan Imagineri” (the Real, the Symbolic, the Imaginary) untuk memahami kecemasan. Domain imagineri merujuk pada aspek psikologis yang berkaitan dengan citra mental kita mengenai diri sendiri dan lingkungan sekitar. Imagineri berperan dalam pembentukan identitas dan dalam pengalaman hubungan sosial. Kecemasan di domain ini muncul ketika kita merasa tidak nyaman dalam interaksi sosial atau mengalami ketidakpastian tentang identitas kita. Pada klimaks cerita, domain psikologis imagineri Bu Prani muncul karena ia merasa banyak serangan yang didapatnya. Selain itu, Bu Prani merasa kehilangan identitas dirinya. Hal itu tercermin pada salah satu dialog Bu Prani yang mengatakan “Ibu itu salah apa? Ibu kudu minta maaf apa?”. Ia berkata demikian karena merasa terasing dan terisolasi dari dunia yang membencinya.

Keterasingan dan keterisolasian ini juga digambarkan dalam banyak bingkaian layar pada shot Budi Pekerti. Banyak shot pada film ini yang menggunakan frame within frame (bingkai dalam bingkai). Frame within frame ini dapat menjadi teknik yang sangat efektif dalam penerapan verfremdungseffekt. Pemilihan teknik sinematografi ini bertujuan untuk menyoroti bahwa apa yang ditampilkan adalah representasi dari realitas, bukan realitas itu sendiri. Ini mengingatkan penonton bahwa mereka sedang menonton sebuah konstruksi fiksi, Selain itu, konsep ini juga memperlihatkan sebuah karakter seperti berada di penjara yang mencerminkan situasi dan kondisi Bu Prani yang terkungkung dan tidak dapat berbuat apa-apa

Penerapan verfremdungseffekt pada style dalam film ini bukan sekadar dari pemilihan teknik sinematografinya, melainkan juga dari penggunakan musik dan suara yang mendistraksi penonton. Bahkan penggunaan musik dan suara yang kontras dengan adegan secara konsisten diimplementasikan pada babak pertama dan kedua demi menjaga jarak antara cerita dan penonton serta membantu penonton melihat adegan dengan cara yang tidak biasa dan menyoroti perbedaan antara apa yang terlihat dan apa yang dirasakan. selain dari menciptakan keterasingan pada karakter. Sejak awal cerita dimulai, kita sudah mendapatkan distraksi dari dengan tumpang tindihnya musik yang kontras dengan adegan serta bunyi “ngiingg” yang turut terdengar saat Bu Prani sedang membeli kue putu di pasar. Pada babak kedua juga diperlihatkan Bu Prani yang melepas pasang headsetnya sehingga menimbulkan bunyi yang overpowering untuk didengar.

Bukan Sekadar Warna Biru dan Kuning

Sejak awal dimulainya film Budi Pekerti, mata penonton akan tertuju dengan kontrasnya warna biru dan kuning yang sangat mencolok dalam penerapan mise en scène sebagai warna identitas dan world building dalam film ini. Dalam Interpretation and Film Studies: Movie Made Meanings (2020) karya Phillip Novak, Michelangelo Antonioni mengaplikasikan warna untuk menekankan keterasingan atau ketidaknyamanan dalam film-filmnya: misalnya, Red Desert (1964) – warna di sini digunakan secara subversif dengan palet warna yang tidak alami untuk membuat dunia  yang terasa tidak stabil dan penuh kecemasan. Hal ini juga yang merupakan penerapan verfremdungseffekt dalam warna di film Budi Pekerti. Warna biru sering diasosiasikan dengan perasaan terasingkan, pasif, dan kesedihan. Sedangkan warna kuning yang lekat dengan keceriaan akan memiliki arti berbeda saat digunakan secara berlebihan. Menurut Wagner yang dikutip oleh Bellantoni dalam If It’s Purple, Someone’s Gonna Die: The Power of Color in Visual Storytelling (2005), warna kuning dapat menyebabkan kekhawatiran dan membuat mental seseorang tertekan dan stres. Perpaduan warna biru dan kuning yang mengganggu serta artificial ini dapat menyadarkan penonton bahwa apa yang mereka lihat adalah sebuah film, bukan dunia nyata yang membuat mereka terasa terlibat, sehingga memicu penonton dapat berpikir lebih dalam tentang makna dan konteks permasalahan film Budi Pekerti. Sekali lagi, verfremdungseffekt melarang keras penonton untuk terhanyut dalam cerita fiktif tanpa berpikir

Budi Pekerti : Ilmu Mengajar Orang Dewasa

Judul resmi bahasa inggris dari film Budi Pekerti adalah Andragogy. Andragogi berasal dari bahasa latin “andro” yang berarti orang dewasa (adult) dan “agogos” yang berarti memimpin atau membimbing. Jadi Andragogi adalah ilmu bagaimana memimpin atau membimbing orang dewasa atau ilmu mengajar orang dewasa. Ini dapat berarti bahwa pembelajaran yang film ini ataupun Bu Prani beri baik secara langsung maupun tidak langsung mencerminkan pembelajaran yang seharusnya dapat dimengerti orang-orang dewasa. Karena orang yang telah dewasa memiliki level kebijaksanaan dan kesadaran yang lebih tinggi daripada orang yang belum dewasa. Seperti Bu Prani yang menegur seorang bapak-bapak yang menyerobot antrean, seharusnya bapak tersebut sebagai individu yang telah dewasa dapat menanggapi teguran yang Bu Prani beri dengan bijak. Orang yang merundung maupun memviralkan Bu Prani di dunia maya adalah orang-orang dewasa yang seharusnya juga sadar akan etika dalam bersosial media. Film Budi Pekerti seolah-olah memberikan pembelajaran kepada orang-orang dewasa  bagaimana menjadi pribadi yang lebih bijaksana. Hal ini mencakup bagian didactic elements dalam penerapan verfremdungseffekt dalam film ini. Didactic elements merupakan elemen dalam suatu karya untuk menyampaikan suatu pesan atau nilai-nilai tertentu kepada audiens dengan tujuan mengajarkan dan mendidik secara mendalam dan efektif. Namun, satu hal yang menarik adalah pada film ini tidak ada satupun dialog yang mengajari penonton bagaimana cara berbudi pekerti, seolah-olah penonton ‘dipaksa’ untuk mencapai kesadaran kritis dan berefleksi atas apa saja yang terjadi di film ini. Salah satunya dengan berefleksi atas character arc Bu Prani di sepanjang plot film.

Sebuah Akhir, Tanda Kemenangan

Salah satu hal yang menarik dalam film Budi Pekerti adalah di bagian akhir penyelesaian film ini pada babak ketiga di sequence 7 (new tension & twist) dan sequence 8 (resolution). Bu Prani meminta maaf pada Gora jika refleksi gali kubur yang pernah ia beri dulu membuatnya trauma. Namun, ternyata Gora tidaklah trauma. Gora malah berterima kasih pada Bu Prani karena telah membuatnya lebih menghargai kehidupan dan tidak berkelahi lagi. Akhirnya, kepala sekolah meminta Gora untuk melakukan klarifikasi bahwa ia tidak trauma atas refleksi yang diberikan oleh Bu Prani. Saat Gora hendak direkam, Gora meminta izin untuk pergi ke toilet, namun Gora tidak kembali dalam waktu yang lama. Bu Prani lalu menyusulnya ke toilet. Gora ternyata berendam di kolam ikan kamar mandi untuk berpikir sejenak. Dia memikirkan alasan bohong apa yang harus dia lontarkan agar alasannya ke psikolog tidak dicari-cari oleh netizen. Gora merasa nyaman dengan kuburan, bau tanah, dan bau kamboja. Hal tersebut membuatnya gembira. Namun, Gora takut kebiasannya tersebut diviralkan kembali.

Dinamika kesadaran terlihat saat Bu Prani hendak mengambil keputusan. Id Bu Prani menginginkannya bebas dari cyber bullying yang menghancurkan nama baik dan keluarganya, namun super ego Bu Prani tidak ingin jika Gora berbohong dan kehidupannya diusik oleh netizen, maka ego Bu Prani menyeimbangkannya dengan membuat keputusan untuk mengundurkan diri dari sekolah, sehingga ia tidak harus membuat Gora berbohong yang mana hal tersebut sangat bertolak belakang dengan prinsip kehidupannya. Hal itu tercermin pada dialog Bu Prani yang berkata pada Gora “kalau kamu bohong, berarti kamu tidak menangkap pelajaran ibu”. Kemudian di satu sisi, Bu Prani juga akan  terbebas dari lingkungan yang hanya mementingkan keuntungan sepihak semata.

Bu Prani lalu memberikan refleksi terakhir pada Gora untuk menutup kedua telinga, mengatur napas, dan mendengarkan detak jantung sendiri serta menghiraukan sejenak pikiran-pikiran berisik yang seringkali mengusik. Hal ini menandakan bahwa kesadaran yang dimiliki Bu Prani membawanya untuk tidak memedulikan lagi pendapat-pendapat buruk orang lain dan memilih untuk mendengarkan suara hatinya sendiri. Bu Prani memilih untuk meninggalkan semua hal yang tidak sejalan, bertentangan, dan merugikannya. Hal ini menjadi titik balik kemenangan Bu Prani. Mungkin, orang menilai bahwa Bu Prani kalah  karena ia kehilangan pekerjaan dan tidak dapat menyelesaikan masalahnya. Namun, kemenangan yang sesungguhnya baru saja diraih oleh Bu Prani.

Pada akhir penyelasaian cerita, keluarga Bu Prani melakukan perjalanan untuk pindah ke tempat yang baru. Akhir dari penyelesaian film Budi Pekerti termasuk open ending, dengan jenis open text film yang memiliki cerita terbuka dan diskursus terbuka guna mendorong penonton untuk lebih aktif terlibat dalam interpretasi. Jika diulas berdasarkan Struktur Hollywood Klasik, karakter Bu Prani tidak mencapai tujuannya yaitu terbebas dari masalah yang membuatnya viral atau dapat dikatakan film Budi Pekerti memiliki akhir penceritaan sad ending. Namun, bagi saya akhir penceritaan film Budi Pekerti bukanlah sad ending, loser story, atau menggantung seperti yang mungkin banyak dibicarakan khalayak ramai. Bu Prani tidak kalah. Keluarganya tidak terhina. Bu Prani dan keluarganya berhasil lepas dari konstruksi sosial yang ‘busuk’ yang meracuni mereka perlahan-lahan. Dengan kepindahan mereka dari lingkungan lamanya dan keluarnya Bu Prani dari institusi yang ingin menrenggut prinsipnya, menandakan kemenangan dari Bu Prani. Bu Prani menang bukan hanya sebagai karakter protagonis dari sebuah film. Melainkan ia juga menang sebagai pahlawan tanpa tanda jasa yang mengingatkan kita semua untuk memegang teguh prinsip dan nilai-nilai yang kita pegang selama ini melalui kesadaran kritisnya.