Merefleksikan Hari Raya Idulfitri 1443 Hijriyah
SHI,- Tidak terasa dua tahun lebih bertarung melawan Covid-19, pada tahun ini (2022) kita dapat kembali merayakan lebaran Idulfitri 1443 Hijriyah/2022 Masehi tepat di tanggal 02 Mei 2022. Lebaran tahun ini mengembalikan marwah identitas kita sebagai masyarakat Indonesia yang selalu disibukkan dengan aktivitas mudik. Keramaian, keruwetan, dan kebisingan di jalan raya yang macet: di terminal bus antar kota, di pelabuhan, di bandara, dan di stasiun kereta api menjadi keunikan pada setiap lebaran Idulfitri di Indonesia.
Apalagi kita telah dibuat absen mudik nasional sudah dua kali lebaran diakibatkan virus Covid-19, maka tidak heran apabila catatan Mabes Polri yang mengungkapkan jumlah kendaraan meninggalkan Jakarta untuk mudik lebaran dari 22 April 2022 sampai 2 Mei 2022 melalui Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Mabes Polri Ahmad Ramadhan, dari fakta temuan anggotanya di lapangan bahwa sebanyak 1.922.206 kendaraan melaksanakan mudik lebaran. Angka tersebut baru menyebutkan mereka yang mudik dengan bus antar kota, dan kendaraan pribadi (mobil & motor), belum lagi angka yang terlacak sudah berapakali kapal laut, pesawat terbang, dan kereta api mondar-mandir mengantar para pemudik ke kampung halaman mereka.
Sebagai masyarakat yang memimpikan lingkungan yang hijau, dan terciptanya masyarakat ekologis. Sudah saatnya kita merenungi aktivitas mudik. Aktivitas mudik sudah saatnya dikaji kembali, dan negara sudah saatnya memikirkan dampak dari aktivitas mudik serentak secara nasional. Aktivitas mudik serentak tersebut tentu berdampak pada iklim dan lingkungan. Penggunanaan batubara untuk kereta api, emisi kapal di pelabuhan, polusi kendaraan di jalan raya, gas emisi pesawat terbang, sampai dengan kelipatan penggunaan bahan bakar minyak bagi semua jenis trasportasi. Hal yang demikian apakah harus kita pikirkan? Bukankah inti dari mudik yang penting kita dapat berjumpa keluarga, melampiaskan rindu bersama mereka yang kita cintai? Perkara aktivitas mudik berdampak pada iklim dan lingkungan itu urusan nanti? Sebagai manusia kita memang berlaku egois dan tidak peduli dengan segala dampak terhadap lingkungan.
Namun sudah saatnya kita mengubah paradigma tidak peduli/masa bodoh menjadi lebih peka dan berempati kepada lingkungan. Kita harus menyadari bahwa lingkungan dan makhluk hidup lain seperti tumbuhan, pohon, hutan, dan hewan juga berhak atas iklim/lingkungan yang sehat. Sudah saatnya kita yang menganggap diri kembali suci dan bersih di hari lebaran, merenungi kembali keegoisan kita sebagai manusia dengan segala aktivitasnya yang melukai lingkungan, dan makhluk hidup lain. Manusia yang sudah diberikan kecerdasan, tentu dapat berpikir bagaimana ke depan melakukan aktivitas mudik dengan meminimalisir resiko terhadap lingkungan. Misalkan negara dalam hal ini harus menetapkan aturan jadwal mudik secara baku di setiap kota agar lonjakan transportasi tidak serentak/bergerombol. Khususnya transportasi melalui jalur darat dengan menggunakan kendaraan pribadi.
Sarekat Hijau Indonesia juga mengajak semua masyarakat untuk kembali merenungi lebaran 1443 Hijriyah/2022 Masehi di tahun ini dengan tidak terjebak pada bias makna. Kita harus bisa memaknai lebaran dengan ramah lingkungan, tidak terjebak konsumtif/penghiburan ilusi semata di hari yang suci. Sudah saatnya pula kita bertanya. Apakah kita memang menang di hari raya jika gelandangan, para pengemis terus membludak di sekitaran masjid tempat kita sholat Idulfitri? Kita bisa membuka statistik indeks Kemiskinan di kota dan di desa. Menyaksikan kaum miskin kota, dan mereka yang hidup di dalam kemiskinan di desa-desa akibat kegagalan negara dalam mendistribusikan lingkungan yang sehat dan pengelolaan sumber daya alam yang masih dimonopoli oligarki.
Sarekat Hijau Indonesia mengajak masyarakat untuk melakoni cara hidup sederhana di hari lebaran Idulfitri. Dengan melakoni hidup sederhana, dapat membuka hati untuk sadar terhadap lingkungan dan peduli terhadap makhluk hidup lain yang ada di planet bumi. Yang pokok di hari raya adalah tidak berprilaku “Hiper Obsesif” atau merayakan dengan cara mubazir. Sejak zaman khalifah, makna di hari raya adalah ketegasan: tiap jiwa-jiwa yang berani untuk mematikan nafsu dunia. Dari kesekian itu adalah nafsu berfoya-foya khas Kapitalisme.
Bagi setiap masyarakat yang memimpikan terwujudnya masyarakat hijau, sudah saatnya momentum di hari raya Idulfitri menjadi simbol kemenangan bagi kita semua untuk menghijaukan hati dan pikiran, menyuarakan hak atas lingkungan yang sehat bagi semua makhluk hidup yang ada di planet bumi. Pasca lebaran Idulfitri, kita juga harus berempati kepada kaum yang kalah/terpinggirkan bahkan kita harus hijrah (dari tidak peduli menjadi peduli) terlibat di dalam agenda memperjuangkan hak-hak mereka yang kalah di dalam pergulatan sosial akibat perampasan sumber penghidupan atas tanah, dan sumber daya alam yang dimonopoli oleh korporasi dan oligarki.
Percayalah bahwa hari raya akan benar-benar raya jika pendistribusian akses terhadap sumber daya alam telah merata dan setara. Lingkungan sehat, dan terciptanya masyarakat yang hijau merupakan fitrah paling suci yang harus diprioritaskan oleh negara. Mohon maaf lahir beserta kewarasan batin 1443 Hijriyah/2022 Masehi. Salam Masyarakat Hijau…