Negara dan Pengakuan Masyarakat Adat: Sebuah Kepastian
Maraknya konflik agraria hingga berujung kriminalisasi terhadap peladang tradisional, seperti tuduhan kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) masih terus berlangsung. Hal ini terjadi akibat kekosongan aturan (Wet Vacuum) yang menjadi payung hukum terhadap peladang tradisional di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Advokat Rakyat Agussalim, SH mengatakan, masalah hukum untuk hak konstitusi bagi peladang tradisional selama ini belum dijamin atas kegiatan berladang dan belum diakui, serta belum dicatat sebagai salah satu jenis pekerjaan di negeri ini.
“Karena itu negara tidak hadir memberikan perlindungan. Umumnya masyarakat adat, khususnya para peladang tradisional belum diakui dan dicatat sebagai pemegang hak konstitusional dalam konteks hak masyarakat adat,” kata Agussalim kepada JurnalNews di Palu, Minggu (20/6/2020).
Padahal kata Agus, pengakuan terhadap masyarakat adat secara deklaratif sudah dinyatakan di UUD1945, Pasal 18 B ayat (2) dan Pasal 28 I ayat (3).
“Masalahnya sampai hari ini, belum ada pencatatan atau administrasi tentang keberadaan masyarakat adat dan wilayah adatnya. Untuk itu kita mendorong perlunya produk hukum daerah dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda), agar dilakukan pencatatan untuk adminstrasi keberadaan masyarakat adat dan wilayahnya,” katanya.
Perlu dicatat dan digaris bawahi kata Agus, jika masyarakat adat dan wilayah adatnya belum tercatat itu bukan kesalahan masyarakat adat tapi kelalaian Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
Ia mencontohkan, di Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng) banyak wilayah kelola Agraria Masyarakat Adat yang dicaplok atas dalih investasi tambang dan sawit, yang secara massif menggunakan izin dari Pemerintah pusat.(Repost)