Perempuan, Tambang dan Praktek Neo Kolonialisme
Kalau dulu perempuan tak berjuang apapun untuk suplai bahan makanan keluarga, karena mencari makanan bukanlah tugas utama perempuan, tetapi sekarang, kami harus turun dan menjadi buruh apapun bagi keluarga hanya untuk menyambung hidup hari demi hari, mana kebun,mana sungai,mana sawit dan mana tambang yang selama ini dibilang akan mensejahterakan kami, kenyataannya, bila Tuhan tak bersama kami, kami sudah mati minggu lalu. (Ibu Turah, 60 tahun, perempuan tinggal disekitar tambang-Kabupaten Lahat)
Coba sebut, bagaimana Tambang memberi kesejahteraan bagi masyarakatnya, sejatinya sumber daya alam ini disediakan oleh Tuhan sebagai bagian dari mekanisme keberlangsungan hidup bagi umatnya, sehingga keberadaan tambang bukan hanya dapat dimanfaatkan oleh Negara (Pemerintah Daerah) tetapi juga memberi stimulan ekonomi bagi masyarakat disekitar kawasan tambang, tetapi praktek yang terjadi di Indonesia adalah sejak tahun 1967 di papua,Freeport Mc Moran yang mendapat Konsesi tambang emas seluas 1,2 juta Ha, Kawasan eksploitasi tersebut ,mengambil paksa kawasan adat Amungme dan Komoro, pengerukan emas ini menghancurkan hutan-hutan sumber air dari puncak gunung hingga laut.
Lalu ada PT Inco, perusahaan tambang nikel terbesar di dunia asal Kanada, menyusul perusahaan tambang Rio Tinto, Aurora Gold,Laverton Gold yang menambang di Kalimantan dan Sumatera sepanjang tahun 1986 sampai dengan 2013.
Penghancuran terhadap SDA Tambang pun tidak berkurang seiring berakhirnya rezim orde baru yang dikuasai sepenuhnya oleh Klan Cendana,sejak lahirnya UU no 32 tahun 2004 (sebelumnya UU no 22 tahun 1999)dan dikuatkan oleh UU no 4 tahun 2004 tentang Minerba, telah membuka ruang bagi para pencekik hasil tambang untuk melakukan kriminalisasi terhadap masyarakat/warga yang dianggap mengganggu operasional penambangan. Sementara lahan pertanian dan perkebunan rakyat dipaksa oleh pemerintah daerah melalui perkebunan besar sawit untuk menanam jenis tanaman seragam yaitu sawit, dengan melakukan pembodohan masal dan iming-iming keuntungan dengan sistem plasma dan perkebunan inti rakyat, atau memaksa masyarakat menjual tanah mereka dengan cara yang halus, sampai dengan melakukan praktek-praktek kekerasan yang di lakukan bersama aparatur keamanan.
Tambang dan Pemiskinan terhadap perempuan
Dalam budaya patriarkhi di Indoensia, Perempuan punya andil besar dan dianggap sebagai tugasnya untuk melakukan tugas-tugas domestik,seperti menyediakan makanan, mengambil air bersih, mengatur keuangan keluarga,sampai dengan membantu ekonomi keluarga dengan cara-cara yang dianggap sederhana, (Berkebun dipekarangan rumah dan sebagainya).
Daily work seorang Ibu adalah bekerja dari sejak pukul 4 pagi sampai pukul 10 atau 12 malam, pekerjaan akan semakin panjang takkala, sumber mata air terganggu karena ada pembukaan tambang, perempuan harus berjalan berkilo-kilo meter hanya untuk mencari sumber air bersih, sementara kelola rumah tangga menjadi beban yang bertumpuk, beberapa perempuan bahkan mengalami tindak kekerasan dalam rumah tangga, karena menolak ajakan hubungan seksual dari suami karena kelelahan, sementara bagi beberapa pihak, ini bukan lah kondisi yang serius, acapkali kondisi ini ditertawakan sebagai sebuah lelucon, padahal kondisi yang mengkhawatirkan ini seharusnya menjadi sign bagi pihak-pihak yang berkepentingan, bahwa tambang yang dibuka dengan tidak mengutamakan kepentingan masyarakat sekitar,akan membuat peluang baru kehancuran ekologi, dan kehancuran sistem budaya dan kearifan keluarga, bagaimana mungkin sebuah sistem budaya yang berdasarkan norma tradisi dan agama, dapat hilang karena syahwat ekonomi kepala daerah dan pengusaha tambang tidak memahami sebuah nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat?
Selanjutnya terjadi perubahan tata perekonomian mulai dari tata produksi,tata konsumsi dan tata distribusi keluarga dipicu kerusakan bentang alam, sehingga pengelolaan bersumber dari alam pun hilang, dipaksa berubah kepasar, corak produksi setempat berubah, dari sistem barter antar sesama petani/masyarakat menjadi ekonomi tunai yang bergantung pada mekanisme pasar, sementara tambang memberikan peluang bagi masuknya pendatang, perubahan gaya hidup pun terjadi, misalnya dibukanya praktek-praktek prostitusi illegal disekitar wilayah tambang, kemungkinan besar perkawinan anak usia dini dan pelacuran terhadap perempuan dan anak yang terbuka secara bebas, terjadi perubahan gaya hidup masyarakat baik secara sosial, ekonomi dan budaya, runtuhnya ikatan sosial buadaya diantara keluarga hingga anggota komunitas lainnya, gaya hidup menjadi konsumtif, hubungan dihargai karena nilai ekonomi, bukan karena nilai-nilai yang tumbuh akibat kearifan lokal yang ada di masyarakat, begitulah tambang telah mampu mengubah wajah negeri ini menjadi menakutkan, individualistis, materialistik dan tak terhubung pada sejarah.
Wajah Tambang di Provinsi Sumatera Selatan
Potensi hasil tambang di Sumatra Selatan yang berupa minyak dan gas bumi banyak terdapat di Kabupaten Muara Enim, Musi Rawas, Musi Banyuasin, Lahat dan daerah lepas pantai. Hasil tambang batu bara tersebar di Kabupaten Muara Enim, Musi Banyuasin, Musi Rawas, Ogan Kumering Ulu, Ogan Kumering Ilir, dan Lahat. Hasil galian batu gamping banyak terdapat di Kabupaten Ogan Kumering Ulu, daerah Karang Agung, Muara Dua, Tanjung Langkayaap, dan Banding Agung.
Sebagai provinsi tambang, Sumatera Selatan (Sumsel) didera banyak permasalahan seputar pengelolaan pertambangan. Diantaranya tumpang tindih lahan pertambangan dengan perkebunan dan kehutanan, juga perizinan, kuasa pertambangan diberikan secara asal oleh Kepala Daerah dengan mengeyampingkan kemampuan dan kapabilitas Perusahaan Pertambangan yang ada, banyak perusahaan yang beroperasi di kabupaten diatas tidak memberikan dampak yang besar bagi kehidupan masyarakat sekitar tambang, terutama pada masyarakat di wilayah ring satu (sebutan untuk msayarakat yang tinggal dengan jarak kurang dari 10km).dengan 230 Kuasa pertambangan yang diberikan kepada perusahaantambang yang melakukan eksploitasi terhadap batubaar yang ada di Sumsel, terjadi persoalan timbang tindih penambangan, baik terhadap kuasa pertambangan yang dilakukan oleh perusahaan Negara seperti Asam Batubara diwilayah Muara Enim dan Lahat dengan Kuasa pertambangan dari Perusahaan swasta lainnya.
Saat ini Provinsi Sumatera Selatan mempunyai cadangan batubara lebih dari 47,1 Miliar Ton yang penguasaannya berada di tangan 270 KP, yang tersebar di 15 Kabupaten/Kota di Sumsel, dengan 10 Kuasa Pertambangan (KP) yang sudah masuk tahap eksploitasi, sementara UU no 1 tahun 2009 yang telah mengatur kewenangan terbatas Kepala Daerah tentang izin pengajuan Kuasa Pertambangan yang seharusnya diketahui oelh Gubernur tetap saja tidak memberi dampak yang serius bagi perbaikan mekanisme pertambangan yang adil rakyat, Pengusaha yang semata berorientasi pada keuntungan yang sebesar-besarnya dengan sadar memberikan upeti untuk melancarkan operasional eksploitasi mereka, sementara Kepala Daerah mengamini sebagai cara-cara yang dianggap sebagai kewajaran, konsep CSR yang dianggap sebagai cara paling bijak untuk “membagi” hasil pengerukan batubara tidak menjadikan cara yang tepat untuk membantu masyarakat merubah kehidupan ekonomi mereka lebih baik.
Mari layangkan pandangan kita pada sebuah kabupaten bernama Lahat, dengan luas wilayah 5.311.74 Km, dengan jumlah penduduk 435.931 jiwa yang mayoritas penduduknya menggantungkan hidup dari sektor pertanian dan perkebunan, utamanya Kopi, dengan memiliki 21 kecamatan, 18 kelurahan dan 360 desa, ditambah dengan izin Kuasa pertambangan yang telah diberikan oleh kepala Daerah saat ini sebanyak 12 Kuasa pertambangan dan PKP2b dengan kisaran luas Ha antar 1.000 sampai dengan 12.000 Ha, seharusnya Kabupaten ini merupakan salah satu Kabupaten terkaya di provinsi Sumatera Selatan, tetapi yang terjadi adalah potensi sumber daya alam melalui batubara dan sebagian emas hanya memberi keuntungan bagi pengusaha dan segelintir pejabat/birokrat Pemda setempat saja, pendapatan dari hasil batubara hanya 120 Milyar ditahun 2012 dan mengalami penurunan lebih dari separuhnya ditahun 2013, sementara kesejahteraan yang diagung-agungkan pemerintah Daerah sebagai cara paling tepat dengan membiarkan pembukaan lahan tambang batubara di kabupaten Lahat seyogyanya telah mengalami kekeliruan besar, Lihat saja jalan antar kecamatan dan desa tidak mengalami perbaikan sejak dibukanya Kuasa Pertambangan, Rumah sekolah tidak mengalami perbaikan fisik maupun terlengkapinya sarana dan fasiltas belajar siswa, fasilitas pelayanan kesehatan pun buruk, apresiasi terhadap partisipasi warga sangat rendah, kemampuan menyerap aspirasi publik pun sangat rendah, perhatian terhadap lembaga sosial/Organisasi masyarakat sipil juga sangat rendah, apa yang diharapkan dari potret kepemimpinan Kepala Daerah seperti ini?. Dengan konsepnya yang mempercayai jalan baru perubahan masyarakatnya disandarkan pada pengusaha yang materialistik,berorientasi pada keuntungan dan menutup mata pada kepentingan publik.
Kondisi diatas bukanlah satu-satunya kondisi yang membenarkan keseluruhan wajah Kabupaten di provinsi Sumsel yang kaya akan sumber daya alamnya, baik Gas,Minyak dan Minerba, tetapi juga kondisi diatas telah melegitimasi kemarukan akan eksploitasi sumber daya alam menghancurkan sistem nilai budaya yang seharusnya tumbuh dengan arif yang dilakoni oleh masyarakat, mengambil isi alam hanya untuk menyambung hidup bukan untuk memperkaya diri sendiri.
Dalam konteks diatas, sebagai bagian dari masyarakat yang dimarjinalkan dari proses pengambilan keputusan, dimana menjawab atau tidak menjawab, mengiayakan atau tidak mengiayakan,menerima atau tidak menerima bukanlah wewenang masyarakat tetapi sepenuhnya wewenang kepala daerah yang secara absolut menganggap ditanganlah mereka lah segala kebaikan dibuat, Kuasa pertambangan yang telah diberikan dengan tidak mempertimbangkan aspek legalitas, kepentingan masyarakat dan kemampuan manajerial telah membumi hanguskan nilai-nilai yang hidup dalam wilayah yang tempatnya dilakukan eksploitasi,truk pengangkut batu bara hilir mudik datang dan pergi memasuki kampung, jalan-jalan penghubung rusak akibat muatan yang beribu-ribu ton sementara fasilitas desa tersebut tidak pernah diperbaiki atau ditambah, kalaupun ada bantuan yang diberikan hanyalah pada saat acara tujuh belas agustus dengan donasi yang seadanya, itukah yang dimaksud oleh Kepala daerah sebagai bagi hasil batubara yang adil yang beriorientasi pada kemakmuran rakyat semata, perempuan yang seharusnya lebih mudah melakukan aktivitas ekonomi semakin bertambah saja beban kerjanya, dengan semakin jauhnya lahan perkebunan, akibat penjarahan lahan yang dilakukan oleh perusahaan tambang, kesempatan meningkatkan tarap ekonomi keluarga menjadi tanda tanya tak berkesudahan.
Ada banyak peluang yang seharusnya bisa dirubah bila pemerintah Daerah tidak menjadikan sumber daya alam sebagai tabungan pribadi, tetapi sebagai aset alam yang nilainya sangat berharga dan tak ternilai, menjadikan masyarakat bodoh, tolol,dengan segala tipu daya, Penjajahan gaya baru ini tentu tidak membutuhkan senjata, ia hanya perlu mentransformasi ideologi dan teori-teori modernisasi, memperkenalkan konsep pembangunan yang mengukur kemajuan dengan pertumbuhan ekonomi, mengundang investor lokal dan asing untuk menjarah ramai-ramai sumber daya alam lalu membaginya secara bersama dimeja makan dengan tawa yang keras dan itulah yang telah dilakukan oleh kepala Daerah di negeri ini.