Politik “Black Hole” Jokowi
Oleh: Andi Hendra Dimansa*
Shi.or.id, Jokowi ibarat koki mampu meracik berbagai sajian yang mampu mengundang selera dari semua kalangan. “Ojo kesusu” dan “Cawe-cawe” menjadi sajian pembuka sekaligus pamungkas yang mampu memupus harapan golongan tertentu. Dua jagoan Jokowi muncul dengan zig-zag yakni Kaesang Pangarep menjadi Ketua PSI dan Gibran Rakabuming Raka menjadi cawapres. Apakah itu salah?
Politik tidak bekerja dalam tatanan benar atau salah, namun apakah itu mungkin untuk dilakukan? Bagi kalangan yang masih melihat Jokowi sebagai seseorang yang harus patuh kepada pakem tertentu, bisa jadi menjadi pihak yang dirugikan dalam keputusan dan langkah politik itu. Pengamat mulai dari yang hingar-bingar di warkop hingga yang wara-wiri di stasiun TV, akan terpola dalam dua narasi. Pertama, yang kukuh menghendaki Jokowi mengikuti pakem tertentu (moral politik). Kedua, yang agak sedikit peduli konstitusi.
Algoritma media sosial terwakilkan oleh dua kata yakni batas usia dan berpengalaman. Tapi, apakah batas usia menjadi penghalang bagi seseorang untuk berbuat bagi negara? Lalu, indokator kecakapan atau pengalaman menjadi jawaban untuk memungkinkan bagi seseorang guna melampaui segala batas yang telah tertulis. Peristiwa konstitusional terjadi, apakah itu salah? Biar catatan sejarah yang akan menjadi hakim akan peristiwa ini.
Kekuasaan Jokowi yang telah terkonsolidasi baik dalam bentuk dukungan parpol maupun elemen masyarakat yang mengambil bentuk paling relevan yakni relawan. Dua kekuatan itu yang memungkinkan Jokowi secara leluasa mengambil pilihan dan langkah, sekaligus memungkinkan membuka peluang terbaik guna memastikan “keberlanjutan pembangunan” yang telah dirintis selama 10 tahun.
Ibarat “black hole” politik Jokowi mampu menarik berbagai kekuatan dan tak berkutik untuk mengambil langkah yang berbeda. Perilaku politik Jokowi itu menunjukkan bahwa langkah-langkahnya tidak mampu memberikan ruang gerak bagi yang lain. Klaim Jokowi selama ini representasi dari partai tertentu dan golongan tertentu, justru perlahan membuka tabirnya.
Politik “black hole” Jokowi mampu menciptakan peristiwa konstitusional dan tidak semua presiden mampu menciptakan itu. Kendati dan praktis tidak ada lagi istilah “Presiden seumur hidup”, namun Jokowi memiliki “daya kekuasaan yang hidup”. Hal itu, bisa terjadi apabila Gibran berhasil menjadi wapres.
Pertanyaan mendasar apakah mungkin konstitusi berubah dan opini publik masih menunjukkan penolakan? Walau akan disergap dengan pandangan bahwa rakyat berhak berpendapat dan fakta menunjukkan rakyat tidak terlalu bereaksi. Bung Hatta pernah menulis bahwa salah satu bangunan demokrasi yang hidup di Indonesia yakni menunjukkan sikap dengan diam atau cuek kepada penguasa. Apakah mungkin itu yang sedang terjadi?
Apakah jumlah suara dapat diartikan akan kepenerimaan atas seseorang menjadi pemimpin? Secara legal mungkin, namun konsensus belum tentu bisa menerima. Apakah kekuasaan akan berjalan dengan legal/hukum atau konsensus/penerimaan akan pemimpin? Kalau perangkat hukum melayani kekuasaan alamat tiran dan fasis akan bisa terjadi, apakah itu baik untuk Indonesia?
*)Penulis adalah Ketua Sarekat Hijau Indonesia Kabupaten Sinjai