Rute Hijau Menuju Keadilan Iklim

Penulis: Lia Asmira
Krisis iklim menjadi ancaman paling krusial bagi para umat manusia di muka bumi. Parahnya. Beragam masalah lingkungan sebagai pemicu kerusakan iklim, sulit untuk dihindarkan. Mulai banjir bandang, kebakaran hutan, longsor, hingga pandemi Covid 19 yang sangat meresahkan dua tahun terakhir.
Kematian dalam jumlah besar terjadi di berbagai negara, begitupun di bumi pertiwi, Indonesia. Para influencer mengajak memakai masker, menjaga jarak, melakukan vaksinasi dengan cara yang kreatif sebagai upaya untuk menekan angka penyebaran Covid 19. Belum selesai dengan Covid 19, virus cacar monyet atau monkeypox mulai hadir di Indonesia, tepatnya terkonfirmasi di DKI Jakarta dan Sulawesi Selatan.
Tentu krisis ini sangat meresahkan.
Tentu beragam upaya dilakukan untuk menekan krisis iklim. Pemerintah di Indonesia mengkampanyekan penggunaan listrik sebagai bahan bakar kendaraan bermotor, meninggalkan bahan bakar fosil yang dianggap menghasilkan karbon, memberikan sumbangsi besar terhadap krisis iklim.
Namun, kampanye yang dilakukan pemerintah terkesan tiba-tiba, menuai banyak masalah.
Disisi lain, penggunaan kendaraan listrik tentu akan mendongkrak permintaan produksi nikel sebagai bahan baku baterai. Sama halnya membuat mata rantai baru kerusakan iklim yang dapat mengeksploitasi nikel secara brutal.
Ada potret menarik dari seorang ibu rumah tangga di Kota Makassar, kesehariannya merawat tanaman apa saja, mulai dari bunga, umbi-umbian, hingga sayur mayur. Rutinitasnya dimulai dari pukul 6 pagi, menyiram tanaman dan menyemai bibit pohon mungil.
Nantinya, tumbuhan itu menjadi pohon yang bermanfaat untuk keluarga kecilnya. Terdapat puluhan tanaman berbagai jenis melingkar tertata rapi di pekarangan rumah yang memberikan efek estetik dan hijau. Meskipun sekitar rumahnya telah dikepung sampah dan penyumbatan jalur air akibat Proyek Strategis Nasional Makassar New Port.
Spirit berkebun di pesisir utara Kota Makassar patut diacungi jempol. Berkat kegigihannya, tetangga di sekitar mengikuti apa yang ibu ini lakukan. Dari sini kita belajar bahwa perubahan kecil berawal dari hobi hingga memotivasi orang banyak.
Suatu hari saya menanyakan alasan mengapa ibu tersebut rajin berkebun, ia berkata “saya sangat cinta dengan tumbuhan, bawaannya tenang dan penglihatan saya jadi lebih jernih saat melihat tumbuhan hijau ini. Pandemi yang membuat aktifitas kebanyakan dilakukan di rumah membuat saya pusing dan melampiaskan rasa bosan saya untuk merawat tanaman. Saya merasa rumah lebih segar saat dikelilingi tanaman, lebih cantik, dan saya sangat senang saat tetangga mulai berkebun seperti yang saya lakukan.”
Contoh demikianlah yang kita butuhkan. Orang-orang yang ikhlas bekerja meskipun kecil dan tidak tersorot kamera, namun mampu memberikan efek yang besar.
Dimana peran pemerintah?
Pemerintah perlu mendorong kebijakan agar orang-orang yang ingin berbuat dapat terpayungi secara hukum, serta menerapkan jalur hijau yang baru menuju keadilan iklim. Jalur atau rute yang saya maksud adalah pemerintah dapat menginstruksikan para warga untuk melakukan
pertanian urban di area rumah masing-masing, atau memberikan dukungan kepada para NGO untuk menerapkan RTH di Kota Makassar, sehingga kita bisa sedikit lebih maju melangkah mengatasi krisis iklim.
Para volunteer bisa digerakkan untuk mengedukasi warga agar melakukan urban farming, pendekatan yang dilakukan bisa dengan membuat kelompok pendampingan atau melakukan pendampingan secara langsung.
Perlu kita ingat, Kota Makassar baru menerapkan 9,05 % ruang terbuka hijau (RTH), yang seharusnya 30 % sesuai dengan peraturan rancangan tata wilayah kota. Sementara, ibu-ibu di lorong siap untuk bergerak, volunteer-volunteer siap digerakkan, orang-orang kecil selalu menginspirasi.
Saat ini kita butuh penanggulangan iklim yang mengedepankan hak asasi manusia. Sebab apabila kerusakan lingkungan sudah semakin parah, maka hak manusia untuk hidup, memperoleh udara bersih dan kebebasan dari ancaman kesehatan akan sulit untuk didapatkan.
Sebagai seorang anak bangsa dan seorang manusia, kita tentu tidak bisa menutup mata dari masalah iklim yang sudah sangat gawat.