Sarekat Hijau Indonesia Mendorong Hilirisasi Ekonomi Hijau Berbasis Pangan Lokal

Hilirisasi Ekonomi Hijau Berbasis Pangan Lokal

Ade Indriani Zuchri

Ketua Umum Sareka Hijau Indonesia

Pemerintah saat ini sedang sibuk mendorong hilirisasi industri ekstraktif seperti batu bara Nikel, Minyak Bumi dll, dengan output ekspor kenegara-negara annex 1 atau Amerika dan Eropa, sementara saat ini Indonesia harus berjuang keras menghadapi laju perubahan iklim,emisi gas rumah kaca dan kenaikan suhu buni menuju ekstrem.

Pemerintah saat ini berkali kali menekankan bahwa Indonesia bakal melakukan hilirisasi utk semua sumber daya alam,termasuk juga sektor kehutanan dan kelautan. Kapitalisasi Industri ekstraktif sdh sejak lama dilakukan oleh berbagai rezim, sektor ekstraktif dipercaya akan mendatangkan kemajuan ekonomi bagi rakyat, salah satu percepataan tersebut diperlihatkan dengan terbitnya Peraturan Presiden RI no 78 tahun 2023 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden No 62 Tahun 2018 Tentang Penanganan Dampak Sosial Kemasyarakatan Dalam Rangka Penyediaan Tanah Untuk Pembangunan Nasional, yang artinya: untuk mempercepat pelaksanaan pembangunan nasional, pemerintah berhak melakukan penguasaan atas tanah masyarakat yg terdampak proyek strategis pembangunan nasional dengan memberikan santunan atau penyediaan hibah tanah dan rumah pengganti. Kondisi ini telah terjadi di berbagai wilayah seperti di Pulau Rempang, atau saat ini yang bergolak di Morowali di Sulawesi Selatan.

Lalu apa yg dimaksud dengan hilirisasi,bila penyelenggaraannya mengambil hak hidup rakyat? Atau apakah hilirisasi yg dimaksud tidak menjual raw material,tetapi mengundang investasi asing (cina) dan memperbolehkan mereka membangun skema industri yang jauh dari hilirisasi sebagai program utama pemerintah?

Hilirisasi ekstraktif akan sangat jauh dari skema ekonomi hijau,seperti yg didengung-dengungkan oleh pemerintah, apalagi dengan skema investasi bebas yg memperbolehkan investor melakukan penguasaan atas kerja-kerja  investasi ekstraktif tersebut, dan lihat Morowali, ketidak perdulian pada tenaga kerja lokal menjadi salah satu dampak besar atas keleluasaan investor, dan pemerintah Indonesia akan selalu mengambil tanggung jawab atas kesalahan-kesalahan investor tersebut.

Indonesia melarang row material ekstraktif,tetapi memberi karpet merah pada investasi yg menguasai Sumber Daya Alam Indonesia, yang sangat jauh dari pembangunan ekonomi hijau,yg dideklarasikan oleh negara sebagai ideologi ekonomi masa depan Indonesia.

Hilirisasi bukan tentang kemewahan cara pandang, tetapi tanggung jawab sebagai pemimpin dalam implementasi, mengapa tidak mempercayai pangan lokal sebagai arus utama hilirisasi? Aktivasi kelembagaan lokal seperti Badan Usaha Milik Desa dan Koperasi dapat dipakai untuk mempercepat proyek pembangunan nasional, kalau ada kerendahan pengelolaan dan SDM pengelola, maka pemerintah memiliki tugas untuk revitalisasi dan peningkatan kapasitasnya.

Mempercayakan hilirisasi pangan dan perkebunan rakyat,jauh lebih strategis untuk pembangunan ekonomi yg berkelanjutan, sehingga kita tidak lagi mengkapitalisasi SDA kita dan dimasa depan akan menghadapi kehancuran dan bencana ekologi.

Ada banyak pangan lokal indonesia atau non lokal yg bisa diadaptasi untuk hilirirasi, seperti sagu, Indonesia memiliki potensi hutan sagu terbesar di dunia, sebanyak 90 persen lebih lahan sagu di dunia ada di Indonesia,dimana sebanyak 85% terdapat di Provinsi Papua, Papua Barat dan Papua Barat Daya. Potensi ini jugaa memberikan kesempatan untuk menjadikan Indonesia bagian timur sebagai produsen sagu terbesar di dunia dan juga komponen utama utk mensejahterakan masyarakat wilayah timur Indonesia, dapat menghindari konflik Sumber Daya Alam,dan penguasaan sepihak.

Hilirisasi Ekonomi Hijau Berbasis Pangan adalah keniscayaan dan kepercayaan yg harus mulai dilakukan oleh pemerintah, ketimbang mempercayakan Sumber Daya Alam Indonesia diberikan hak kelolanya pada investor,yg murni bertujuan pada keuntungan semata.

Mengutip Pasal 33 UUD 1945, menegaskan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan, yg bermakna seluruh rakyat Indonesia berhak setuju dan tidak setuju atas penguasaan Sumber Daya Alam, apalagi yg bertujuan untuk memutus rantai.ekonomi saat ini dan masa depan. (MY)