Toxic masculinity dan Kejahatan terhadap Perempuan dan Anak; Oleh: Ade Indriani Zuchri

Toxic masculinity dan Kejahatan terhadap Perempuan dan Anak
Oleh: Ade Indriani Zuchri
Toxic masculinity adalah kondisi dimana laki-laki menganggap gendernya sebagai superior dibanding perempuan, sehingga hirarki yang ditimbulkan akibat relasi yang jelas-jelas tidak seimbang ini menimbulkan banyak perspektif dari laki-laki yang akhirnya memicu berbagai macam bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak yang inferior.
Konstruksi sosial budaya juga memberikan kontribusi terhadap maskulinitas laki-laki tumbuh menjadi prosedural dan kebiasaan yang dimaklumi sebagai sifat bahkan identifikasi untuk menyebut sifatseorang laki-laki, semakin tegas dan keras sikap seorang laki-laki, akan semakin bagus dipandang oleh society, laki-laki yang memperlihatkan sisi feminim mereka,malah akan berhadapan dengan publik/society yang menganggap sisi feminim itu sesuatu yang buruk,absurd dan tidak sesuai dengan nila-nilai yang berkembang dalam budaya dan sosial, matinya atau frigilenya feminitas seorang laki-laki, akhirnya menjadi budaya baru yang berkembang dalam masyarakat kita, dimana sosok laki-lai digambarkan sebaga hero yang berhak melakukan “tugas” kelaki-lakian mereka tanpa kesalahan, kalaupun ada kesalahan, itu dikarena media pemicu ekternal mereka, yaitu perempuan.
Pandemi kekerasan terhadap perempuan dan anak dimaknai sebagai ancaman kerusakan terhadap perempuan dan anak, kehilangan harga diri sebagai seorang manusia dan perempuan, mengalami tekanan mental/jiwa, rasa sakit terhadap trauma dan berbagai kesakitan lainnya yang umumnya hanya mampu dirasa oleh korban kekerasan itu sendiri. Karantina merupakan usaha yang tidak membuahkan hasil, karena masa karantina yang tidak mempertimbangkan pemulihan korban dan penanganan yang lemah akan pemahaman , ditambah lagi respon aparatur dan pihak-pihak yang harusnya bekerja untuk pencegahan dan perlindungan tidak berbekal ‘rasa’, inisiatif dan respon, yang akhirnya menyebabkan pandemi kkeerasan terhadap perempuan hanya mapu menangani dipuncaknya saja.
Kisah traumatis perempuan dan anak korban kekerasan telah berjilid jilid dikonversi menjadi literasi dan bahan ajar, tetapi tidak menjadikan hal ini sebagai pemahaman dan pengetahuan luhur akan penghormatan terhadap perempua dan anak, yang memicu penurunan angka kejahatan/kekerasan terhadap perempuan dan anak di Indonesia.
Tempat publik yang awalnya menjadi jembatan bagi perempuan untuk mengekspresikan kemampuan mereka, berubah menjadi hill valley yangmenakutkan, kejahatan demi kejahatan memeancing ketakutan perempuan untuk berkembang diluar, tetapi menunggu dirumah dan diam tak bermakna juga menjadi ruang yang tak aman juga, dimana sebenarnya tempat yang aman bagi perempuan.
Teori feminis didasarkan pada 4 pertanyaan fundamental, yakni pertanyaan tentang bagaimana kehidupan (nasib) perempuan, mengapa perempuan berada di situasi sekarang (mengalami ketimpangan), bagaimana cara mengubah dunia sosial yang penuh ketimpangan tersebut, dan bagaimana perbedaan perempuan berdasarkan kehidupan, posisi, atau status sosial masing-masing.enarnya ruang aman bagi perempuan,seharusnya menjadi panduan bagi pengambil keputusan dinegeri ini untuk lebih meningkatkan perlindungan terhadap perempuan dan anak.menemapatkan mereka pada ruang yang memberi kekuatan dan kepastian akan hukum dan hak mereka.
Terbitnya Peraturan Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual dipandang sebagai suatu langkah yang progresif oleh sejumlah pihak di tengah keresahan akan tingginya kekerasan seksual di lingkup perguruan tinggi,sebagai sebuah regulasi, menimbulkan pro dan kontra, ada beberapa frasa yang dianggap ‘sembelit’ menurut beberapa politisi dan MUI yang memicu perdebatan tarik dan ulur, ‘keterlambatan’ dalam pencegahan dan pengaturan terhadap perlindungan perempuan dan anak akan menimbulkan klaster baru pandemi,lebih besar dan dahsyat. -MY

penulis adalah Ketua Umum Sarekat Hijau Indonesia